Runner Up-Girls

02.57 Unknown 0 Comments

Postingan pertama saya yakni tentang " Runner Up-Girl " saya sangat suka novel ini , saya berharap bisa membuat sebuah karya seperti ini .


Runner-Up Girl
MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi deru mesin dan asap kendaraan yang berseliweran. Bising dan semrawutPagi selalu menjadi saat sibuk bagi Mira, dan dia sadar betul hal itu. maka"nya dla selalu mengisi kegiatan pagi dengan bersenandungdung. Selain untuk menyamarkan suara bising disekelilingnya, juga untuk menjaga suasana hatinya tetapriang.

Mira biasa ke sekolah berjalan kaki. Sesekali ia selingi bersepeda. Selain bugar, juga mengurangi dampak pemanasan global. Mira memang peduli kelestarian lingkungan Lagi pula sekolahnya dekat, jalan jelas hemat dan sehat.

Dari rumah Mira tidak langsung ke sekolah. Dia Mampir ke rumah Kelly, sahabatnya, yang hanya jarak tiga ratus meter dari rumahnya. Kadang Mira ikut sarapan bersama keluarga Kelly yang hangat. Tak heran bila Mira betah meluangkan waktu bersama mereka, bahkan kadang mampir hanya untuk menyapa adik Kelly yang tueu. Selanjutnya Mira dan Kelly akan berlari-lari kedl di trotaar sambil bereanda ria menuju sekolah."Wah, siapa yang mendandani rambutmu, Kel? Oikepang satu di atas begitu jadi sangat eantik Iho," puji Mira.
Kelly tersipu. "Ah, kamu bisa aja." "Betul. Pita pink yang kamu pakai membuat penampilanmu semakin manis," lanjut Mira. Tanpa sadar dia meraba rambutnya yang pendek dan keriting.
Sudah pasti tak bisa diikat.~ Bahkan tidak eoeok diberi aksesori apa
pun. Bukannya bertambah eantik, hiasan rambut justru membuatnya kelihatan konyo!. Maklum, Mira tomboi abis.
"Kamu juga cantik! Aku memang memiliki rambut panjang, tapi tidak punya mata lebar, berbinar, dan bening seperti matamu, Mir!"
"Mmm... t api kamu memiliki adik lucu!"
"Kamu punya rumah megah dengan segala macam fasilita s kamplet," sahut Kelly tak mau kalah.
"Kamu punya ibu yang pintar memasak dan sangat
baik!"
"Kamu punya ibu dan ayah kaya raya!" sahut Kelly
lagi.
"Ah, sudahlah, kita memang nggak sarna, dan karena itulah persahabatan kita langgeng. Iya, kan?" Mira tidak ingin melanjutkan perdebatan. Kelly tidak menyahut. Oia justru menghentikan langkahnya. Matanya melotot ke satu arah. Mira ikut berhenti
dan memandang Kelly dengan heran. Karena Kelly bergeming, Mira segera mengalihkan pandangan ke arah yang sarna dengan tatapan Kelly. Oi depan rumah megah di tepi jalan searang cowok tengah memperhatikanmereka. Gelagatnya seolah
menunggu Kelly dan Mira lewat. Tanpa dikomanda, jantung Kelly dan
Mira beradu cepat.
Kelly jadi grogi. "5epertinya dia menunggu kita deh."
"Udah, cuek aja!" sahut Mira sambil menggamit pergelangan tangan Kelly. "Yuk jalan!"
Langkah Kelly mendadak canggung. Walau menunduk, Dia masih mencuri pandang ke arah cowok bertubuh jangkung yang masih berdiri di depan mereka. Semakin mendekat kearah cowok itu, Kelly semakin salah tingkah. " hai”' sapa cowok itu begitu Mira dan Kelly berada
dalamjarak satu meter dari tempat dia menjejakan kaki
Mira dan Kelly menghentikan langkah, menatap cowok itu penuh penasaran"Boleh bergabung? tanya si cowok berkulit hitam dan berhidung mancung itu sambil tersenyum ramah. Mira mengangkat bahu. la menoleh pada Kelly. Yang
ditoleh tersenyum malu-malu. Tangan Kelly meremas rok, tanda grogi.
"Tiap pagi kulihat kalian ke sekolah jalan kaki, kayaknya asyik banget. Makanya pagi ini aku mau ikutan.
Boleh, kan? Lagian seragam kita sama, berarti kita satu sekolah dong!" cerocos cowok itu.
"Mmm.. . boleh saja, asal kamu nggak lebih cerewet daripada Kelly, sahabatku ini," balas Mira sambil tertawa
ked l, lalu sedetik kemudian dibalas cubitan Kelly di lengannya.
Si cowok hitam manis tertawa renyah. Kemudian dia mengulurkan tangan. "Aku Riku," ujarya memperkenalkandiri. " Kalian?"
"Aha! Riku!" Kelly memekik. "Iya... aku tahu kamu. Kamu yang jago main sepak bola itu, kan? Wah, aku senang sekali bisa berkenalan denganmu. Namaku Kelly." Kelly tersenyum riang, kemudian menjabat tangan
Riku lama.
Mira melirik Kelly. Rupanya sahabatnya sudah mampu menguasai diri. Bahkan terkesan sok akrab pada Riku.
"Aduh, t angan kalian ada lemnya ya?" tegur Mira karena Kelly tak juga menarik tangannya dan genggaman Riku.
Kelly dan Riku langsung melepas tangan mereka. Wajah Kelly memerah. Dia melirik jutek pada Mira.
"Udah yuk, berangkat! Keburu telat nih!" Mira mengandeng Kelly, lalu kedua cewek itu berjalan dengan langkah cepat.
Riku berjalan di belakang kedua gadis itu. "Namamu siapa?" tanya Riku pada Mira.
"Aku Mira," balas Mira tanpa menoleh pada Riku.Riku tersenyum. Dia mempercepat langkah agar tidaktertinggal dua gadis yang berjalan supercepat itu.hampir saja mereka telat . Begitu melewati gerbang sekolah, bel berbunyi. Riku beda angkatan-kelas beda setahun di atas Mira dan Kelly.
" Dadaaah, Riku!" seru Kelly saat mereka berpisah menuju kelas masing-masing. .
"ih... kegenit an deh, Kel!" tegur Mira pelan.
"Aduh, Mir. Riku cakep banget! Kulit cokelat, sorot Mata tajam, hidung mancung, dan tubuhnya atletis banget !" Kelly mulai nyerocos. Anak itu memang nggak pernah lihat cowok ganteng. Bawaannya suka histeris, kayak melihat aktor-aktor Korea di film Korea kegemanranya.
“papamu juga berkulit cokelat, bermata tajam, dan Hidung mancung. Tubuhnya atletis!" kata Mira yang sekarang duduk di bangkunya dan sedang memasukkan tas ke atas meja.
"lh, Mira!" sungut Kelly sewot.
"Mmm, apa kelak aku juga akan menyukai cowok seperti papaku? Tinggi, kalem,berkacamata, rapi, dan...punya otak?" ucap Mira, nyaris bergumam.
"Emang Riku nggak punya otak?"
"Vee, sewot amat. Aku kan tidak sedang membandingkan papaku dengan Riku. Lagian, kamu udah lupa ya. ada tujuh kecerdasan majemuk. Nah, pada Riku jelas kecerdasan kinestetiknya yang dominan dan kayaknya interpersonalnya juga bagus tuh!"
Kelly mengangguk-angguk. Kelly sadar betul bahwa Mira anak yang sangat cerdas, suka berpikir, dan gemar membaca. Sedangkan Kelly lebih suka mengurus rumah, melakukan hal-hal yang berhubungan dengan keterampilan tangan dan
ketekunan. Va, sifat Kelly dan Mira bertolak belakang. Namun itu bukan halangan bagi mereka untuk bersahabat. Mereka justru saling melengkapi.
***
Saat istirahat, Kelly dan Mira bertemu kembali dengan Riku di pinggir lapangan sepak bola. Kali ilu Riku lidak sendirian. Dia bersama seorang cowok.
"Hai, Mira, Kelly!" sapa Riku ketika mereka berpapasan.
"Mau menyantap bekal, ya? Kita barengan yuk!" ajak Riku.
Mereka duduk di sebangku semen di tepi lapangan. "Kenalkan,ini Aoi, teman sekelasku," Riku memperkenalkan cowok yang sedari tadi diam membisu di sampingnya.
Kelly dan Mira segera menjabat tangan Aoi. Wajah Aoi tak berhias senyum sama sekali. Jabatan tangannya pun terasa kaku, seolah dia tidak tulus melakukannya.
Mata Aoi sipit. Kacamata minus bertengger di hidungnya yang mungil. Rambut Aoi lurus dan dipangkas sangat pendek, memberi kesan rapi. Sebenamya Aoi ' tampan. Sayang, raut wajahnya yang kaku memberi kesan tidak ramah. Juga bibimya yang mungil tanpa senyum menambah ekspresi sinis cowok itu.
"Wah, untung aku nggak seangkatan dan sekelas denganmu. Kalau sampai sekelas, aku lebih baik pindah kelas," kata Mira pada Aoi saat mereka tengah menikmati bekal.
Aoi menoleh pada Mira sambil mengerutkan dahi
"Wajahmu mengganggu pemandangan. Memang kalau tersenyum, bibirmu bisa gatal-gatal ya?" tanya Mira cuek dengan mulut penuh makanan.
Aoi diam saja, sementara Kelly dan Riku terbahak. MIra memang suka ceplas-ceplos. Apa saja yang ada di plklrannya sering keluar tanpa pertimbangan.
"oi memang pendiam, Mir. Tapi otaknya encer banget .Dia mencalonkan diri jadi ketua osis tahun ini,"ucap riku
"Apa peduliku, " balas Mira sambi! Menggigit sandwich tuna kesukaannya.
"Mmm... oyam...." Riku cuma bisa geleng-geleng.
Sementara itu, Kelly segera memuji Aoi karena merasa tidak enak dengan sikap Mira.
'Wah, Aoi hebat. Semoga kamu terpilih jadi ketua osis, ya." Kelly tersenyum sambil menatap Aoi. Tapi Aoi diam saja seraya menikmati snack-nya, tak menanggapi sedikit pun ucapan simpatik Kelly. Aoi seolah hanya sendirian di tepi lapangan. Kelly terlihat agak kecewa karena tak mendapatkan respons. gadis manis itu
mendesah lirih ketika memalingkan wajah dan Aoi. Suasana seketika menjadi kaku.
"Eh, nanti pulangnya kita bareng, kan?" tanya Riku pada Mira, mencoba mencairkan suasana.
"Mmm, aku dan Kelly mau mampir ke apatek dulu," balas Mira tanpa ekspresi sambil mengernasi wadah bekalnya.
"Ada yang sakit dan butuh obat, ya?" Riku ·bertanya lagi.
"Iya. Ternan di sebelah kamu itu kan butuh obat khusus.Siapa tahu aku bisa nemuin obat yang bisa membuat wajahnya lebih enak dilihat. Krim anticemberut, mungkin. Atau kalau mau cepat sih aku bisa beliin puyer dosis tinggi sekalian!"Riku dan Kelly lagi-Iagi terbahak.
Kini aoi menatap tajam mata Mira. Namun, bukan Mira namanya kalau dia lantas rikuh atau gentar. Gadis tombai itu justru membalas tatapan Aai dengan lebih tajam. Mereka berdua bertatapan bagai dua musuh Padahal, mereka baru saja berkenalan.
"Apa sih maumu?cari perhatian, ya?" tanya Aoi ketus. Sontak Mira ternganga mendengar suara yang akhirnya keluar dari mulut Aoi. "Aha! Akhimya aku berhasil memancingmu mengeluarkan suara. Wah... suara kamu cocok tuh untuk cari receh di perempatan!" ejek Mira.Aoi menatap Mira kesal. Sebenamya emosi Aoi sudah tersulut sedari tadi. Rasa·rasanya dia ingin menonjok wajah Mira. Tapi itu tak mungkin dHakukannya karena MIra cewek. Hanya cowak tak bermartabat yang bisa melakukan hal serendah itu. Untuk melampiaskan kesalannya, Aoi menyepak kerikil yang menempel digulung sepatunya.
"Hei... hei! Biasanya cowak dan cewek yang saling membenci lama-lama jadi saling cinta Ioh!" goda Kelly, Mira dan Aoi masih bertatapan dengan ekspresi tidak bersahabat.
" Ih, mana mungkin aku jatuh cinta sarna cowok robot kayak gitu!" sambar Mira sambil pura-pura bergidik.
"Apalagi aku, balas Aoi. "Mending aku jomblo daripada punya cewek .cabe rawit kayak kamu! Mulut kamupedes, tau!"
"Mending cabe rawit," Mira tak mau kalah.
" Biarpunpedes, banyak orang butuh dan suka cabe rawit. Rumah makan yang banyak menu sambalnya malah lagi musim dan laris manis. Nggak kayak robot, yang cuma bisa
menjalankan perintah, kaku kayak benda mati, dan nggak semua orang butuh!"
Aoi makin kesal pada Mira. Dia ingin membalas katakata Mira, tapi Riku keburu berdiri dan melerai pertikaian mereka. "Hei, sudah... sudah! Kok malah bertengkar sih?" Riku geleng-geleng melihat kelakuan dua temannya. "Sebentar lagi bel. Yuk kita ke kelas!"
Kelly segera berdiri, lalu menarik tangan Mira. Sebenamya Mira belum puas. Dia masih ingin berbalas kata-kata pedas dengan Aoi. Namun bel istirahat berakhir bakal terdengar sebentar lagi. Pelajaran berikutnya biologi. Guru biologi mereka t idak memberikan toleransi
sedikit pun kepada anak yang terlambat masuk pelajarannya. Mau takmau Mira mengikuti langkah Kelly yang bergegas menuju kelas.
"Ih... aku nggak nyangka kamu punya teman seperti Lucifer gitu!" kata Aoi pada Riku sepeninggal keduacewek itu.
Riku hanya tertawa sambil merangkul bahu Aoi. Kemudian mereka juga berjalan menuju kelas.
MIRA duduk di tepi kolam renang sambi! Mendengarkan musik dan menatap langit.
langit terlihat cerah. Wrna biru dan awan-awan putih yang menghiasinya terlihat begitu serasi. Indah sekali. Sayang, hati Mira tengah mendung. Dia kesepian.
Di rumahnya yang besar dan megah hanya ada dia dan beberapa pembantu rumah tangga. Kadang rumahnya ramai kala para pembantu bekerja sambil bersenda gurau. Sesekali Mira terlibat dalam canda mereka, tapi di lubuk hati, tetap ia merasa kesepian. la menginginkan
kehadiran mama-papanya. Orangtuanya kerap ke luar kota. Kalaupun ada di rumah, sedikit sekali waktu yang di luangkan mereka untuk Mira. Papa terlalu sibuk mengurus perusahaan, sementara Mama lebih suka mengatur dan menekan Mira untuk selalu berprestasi optimal.
Mengapa Mama tak seperti ibu Kelly ya? Ibu Kelly baik, lembut, selalu di rumah untuk memasak, merawat tanaman, dan mendengarkan apa pun kisah yang diceritakan
Kelly. Beruntung banget Kelly punya ibu seperti itu, batin Mira. Jika berada di tengah keluarga Kelly, Mira merasa senang sekaligus iri. dia rindu berada
dalam keluarga yang hangat dan saling mempematikan seperti keluarga Kelly.
“Huh... mengapa aku melamun saja han ini?! Mama
bisa marah kalau tahu aku di rumah hanya melamun.
Bisa habis telinga terbakar amarah Mama!” keluh Mira dalam hati. Dia pun bangkit dan menuju kamamya. Ada sesuatu yang harus dikerjakannya segera.
Mira menyalakan laptop. Dia memeriksa ulang karya ilmiah yang sudah dia kirimkan ke Kementerian lingkungan Hidup. dua minggu lalu gadis itu mengirimkan
tulisannya untuk lomba tersebut. Walau naskahnya sudah terkirim, Mira selalu membaca ulang karyanya.ditelitinya lagi setiap kata yang ia tulis. Jangan-jangan ada kesalahan. Sedikit saja kekeliruan membuat hatinya tak tenang.
Kali itu Mira sangat yakin akan kesempurnaan tulisannya. Banyak waktu yang sudah dia korbankan untuk meneliti dan menyusun subjek pilihannya menjadi karya ilmiah yang benar-benar valid. Kalimat demi kalimat yang dituangkan berkali-kali dia baca dan perbaiki hingga menjadi kalimat yang baik dan enak dibaca. Mira yakin karyanya bakal menang. dia sudah membayangkan, betapa senang mamanya bila dia menjadi juara lomba tersebut. Hal itu memang dia lakukan demi mamanya.
“Tolong aku, Tuhan. Karyaku sangat bagus dan aku
berjuang keras membuatnya. Besok hari istimewa ka·
rena koran mengumumkan pemenangnya. Tuhan, aku
sungguh berharap, akulah juaranya. Bantu aku, Tuhan,
pliiis,” Mira berdoa khusyuk. Setelah capek memelototi layar laptop, Mira rebah di kasur. Terbayang di otaknya senyum Mama yang akan mengembang lebar jika ia jadi juara nanti. Mama pasti sangat bangga dengan prestasinya. Mama memang perfeksionis dan sangat gila prestasi. Mira-Iah yang jadi sasaran obsesi Mama. Mira dituntut berprestasi setinggi mungkin dalam segala bidang. Sejak Mira kenyang mengikuti berbagai perlombaan. di rumah sampai ada ruang khusus untuk menyimpan piala dan piagam hasil
perlombaan yang diikuti Mira. Terkadang Mira tertekan mengingat hal itu.
Semalaman Mira tak bisa terpejam. la terus memikirkan hari esok. Berita baik atau berita burukkah yang di terimanya besok? Baik bila dia menjuarai lomba itu,atau buruk bila namanya sama sekali tak tercantum pada deretan pemenang.
“Duh, aku menyesal telah memberitahu Mama dan
Papa bahwa aku ikut lomba. Kalau aku kalah, mereka
pasti san
gat kecewa. Harusnya kuberitahu kalau sudah
jelas aku menang! “Mira mendadak gugup.
“Duh, ada mesin waktu nggak sih? Teknologi sudah
begitu maju, tetapi mengapa nggak ada mesin waktu
ya?” Saking gelisah, pikiran Mira mulai melantur. Kayaknya aku harus jadi ilmuwan deh. Aku ingin membuat alat canggih
yang bisa membawa manusia ke masa lalu. Jadi, semua orang bisa memperbaiki kesalahan masa lalunya. Ah, pasti menyenangkan bila ada alat semacam
itu. Mira ngikik membayangkan ada alat secanggih itu.
Hampir tengah malam saat Mira baru saja terpejam, sebuah ketukan halus di pintu kamar membuatnya urung tidur. Ternyata Mama, yang baru pulang dari luar kota.
"Hai, Sayang," sapa Mama sambi! mengecup kening Mira sekilas.
"Lho, kok pulang, Ma? Tengah malam begini?" tanya Mira heran. "Mira kirain masih beberapa hari lagi."
"Besok pengumuman lomba karya tulis yang kamu ikuti, bukan? Mama yakin kamu juaranya,Mir!"kataMama.
"Mama khusus pulang untuk menyiapkanmu pada acara penerimaan hadiah bagi pemenang. Kita harus belanja baju baru untuk han istimewamu itu."
"Jangan berharap tertalu banyak, Ma. Saingan Mira juga banyak, kan?"
"Mir, jadi orang optirnis dong! Mau jadi apa kamu kalau sedikit-sedikit berpikiran negatif dan menyerah begitu? Kamu hidup dalam generasi yang kejam dan penuh persaingan. Kalau lembek dan santai, kamu akan terlindas kehidupan. Kamu mati sia-sia dan tak punya apa-apa Camkan itu baik-baik! Besok kamulah juaranya!" tegas mama Mira.
Kata-kata Mama yang tajam menohok bagaikan pesawat tempur yang menembaki Mira bertubi-tubi. Hati Mira jadi tak menentu. Dia sungguh takut menghadapi esok.
MIRA bangun dengan wajah sembap karena kurang tidur. Dia mencoba bemyanyi untuk menenteramk an hati. Tapi bibirnya tak mampu mengeluarkan suara apa pun. Hatinya betul-betul gentar. Keberadaan Mama dan pengumuman lomba betul-betul kombinasi sempurna yang membuat nyalinya ciut.
Setelah mandi, sarapan, dan siap berangkat ke sekolah, Mira berjalan tanpa semangat. Sesampainya di rumah Kelly, ía hanya mematung di depan pagar, menunggu sahabatnya ke luar.
“Mira... masuk dulu, Sayang!” terlak mama Kelly dan pintu rumah. “Tante bikin roti bakar enak Iho!”
“Saya masih kenyang, Tante,” sahut Mira. Karena ada Mama, mau tak mau Mira harus sarapan di rumah. Jika tidak, Mama pasti mengomel. Mira terpaksa menyantap nasi goreng walau lidah dan perutnya belum kepingin makan. Masih lebih baiklah, daripada dia sarapan nasihat Mama. Bisa pusing sepanjang han kalau pagi-pagi telinganya sudah disembur omelan.
Kelly berlari kecil menghampiri Mira. “Hai, Mir” sapa Kelly riang. “Ya ampun... tampangmu kusut benar pagi ni. Sudah mandi belurn sih?”
Mira memonyongkan bibir. “lh, enak saja! Sudah man- di dong. Tapi lupa sabunan,” ujarnya cuek sambil mel angkah.
Kelly menjejeri langkah Mira. Pandangan Mira tidak fokus. Beberapa kali dia hampir menabrak orang yang herpapasan
dengannya. Bukannya minta maaf pada orang yang hampir ditabraknya, Mira malah cemberut (Ian membisu.
“Hei, kamu kenapa sih? Butuh obat ketawa? Puyer dosis tinggi barangkali?” Kelly menggoda Mira.
Mira melotot, kemudian menunduk lagi. Entah berapa kdli ujung sepatunya menyepak kenikil yang dia temui di jalan.
“Lama-lama kamu mulai kayak Aol,” gumam Kelly.
“ldih... sembarangan!” Mira sewot mendengar perk ataan sahabatnya itu.
Mira nyengir. “Son... aku kan hanya bercanda. Soaln ya pagi ini tampangmu masam banget. Trus, kerikil nggak salah kok disepak-sepak. Kasihan, kan?” Kelly lagi-lagi mencoba melucu.
Mira menghela napas. “Aku takut sekali, takut gagal hari ini.”
“Oh... han mi pengumuman lomba, ya? Wah, aku yakin kamu menang, Mir! Kamu pinter, teliti, pandai merangkai kata. Jadi aku yakin kamulah pemenaflgflYa. Kalau kamu nggak menang, pasti jurinya salah baca tuh! Atau jangan.iaflgan ada peserta yang lebih pintar daripada kamu? Ah, tapi itu nggak mungkin, kan?” cerocos Kelly.
Mira berhenti, kemudian menatap Kelly sehingga sahabatnya itu jadi salah tingkah.
“Hehe, memangnya ada yang salab dengan kata-kataku ya?” tanya Kelly sambil nyengir cemas.
“Nggak usah ikut-ikutan menuntut kayak mamaku deh!” balas Mira, lalu Ia kembali berjalan.
Kelly terpaku sesaat, kemudiar mengelar sahabatflYa. Saat sampai di depan rumah Riku, terlihat cowok itu tersenyum di depan gerbang sambil memegang koran pagi.
“Pagi, Mira! Ada kabar bagus untukmu!” kata Riku. Mira berusaha merebut koran di tangan Riku, tapi cowok itu menang cepat menghmndari gerakan gesit Mira.
“Please deh!” seru Mira tak sabar.
“Eits, janji dulu, kamu akan mentraktir kami kalau kamu jadi salah satu juaranya.”
“Yang namanya juara itu cuma satu! Aku tidak mengenal istilah juara dua atau tiga. Kalau aku di urutan kedua atau ketiga, bagiku itu bukan juara!”
Riku tercengang. “Sungguh? Tapi... yang kedua dan ketiga suatu saat bisa menjadi yang pertama, Mir! Kegagalan adalah sukses yang tertunda.”
“Katakan itu pada mamaku!” bentak Mira. Kemudian i merebut koran dan tangan Riku. Cowok itu menyerah.
Mata Mira melotot, tangannya bergetar hebat hingga koran di tangannya terjatuh. Sesaat kemudian, air mata mengalir di kedua pipinya. Mira berlari. Dadanya sesak.
Kelly bengong melihat reaksi sahabatnya. Dia tidak mengira Mira bisa sangat terpukul seperti itu. Kelly menatap Riku penuh tanya.
“Dia juara dua,” kata Riku pelan, lebih menyerupai gumaman.
“Oh my God! Dunia bakal kiamat!” seru Kelly, kemudian berlari mengejar Mira.
Mau tak mau Riku ikut berlari. Mereka bagaikan orang yang tengah berkejaran sehingga membuat penasaran orang-orang di sekitar mereka. Apalagi sesampainya di sekolah Mira tak juga mengurangi kecepatan larinya. Ditambah dengan air mata yang bercucuran di pipi Mira, adegan lari tiga kawanan itu semakin mencuri perhatian. Tapi Mira tak peduli. Hatinya benar-benar kalut.
Akhirnya Mira berhenti dan duduk di bangku semen di pinggir lapangan sepak bola, tempat dia dan Kelly biasa menghabiskan bekal makanan. Mira termenung. Air mata yang tadi mengucur deras kini telah kering. Riku dan Kelly duduk mengapit Mira.
“Mengapa harus bersedih, Mir? Ratusan karya masuk ke meja juri dan menjadi pesaingmu. Bahkan, mereka tidak masuk menjadi pemenang urutan berapa pun. Kamu di urutan kedua. Kedua dan ratusan karya!” Riku memberi penekanan pada kalimat terakhir. “Kamu hebat! Wajar bila Aoi juara satu, karena sejak kelas tiga SMP dia mengikuti lomba ini, meskipun belum pernah menang sebelumnya. Namun hari ini, setelah berkali-kali ikut, dia jadi pemenangnya. Aku yakin kamu baru pertama kali ml ikut lomba tersebut, dan langsung juara dua. Kamu sangat hebat, Mm!” hibur Riku penuh sem angat.
Mira menatap tajam pada Riku. “Jadi... juara satunya Aoi? Si robot yang menyebalkan itu? Tadi aku hanya melihat namaku, tidak baca nama lain.”
“Namanya ada kok. Kamu aja yang nggak memperhatikan.” Riku mengangguk. “Yang penting, ini prestasi besar bagi sekolah kita karena dua siswanya mengharumkan nama sekolah.”
“Aku ikut lomba bukan untuk sekolah, tapi untuk Mama!” balas Mira ketus. Dengan kasar dientakkannya tubuhnya ketika berdiri, kemudian dia beranjak pergi ,tanpa berkata-kata.
Riku dan Kelly bengong kayak kepompong. Bahkan Riku tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang tidak berbahagia saat dinmnya dinyatakan jadi juara, hanya karena jadi juara kedua? Riku menggeleng-geleng bingung.
“Kenapa sih dia begitu? Dapat juara dua kok justru kayak orang depresi gitu?”
“Mamanya menuntut dia menjadi yang pertama, cIilam hal apa pun. Di kamus mama Mira, nggak ada kilah kedua. Mira teman yang sangat balk dan men yenangkan, tapi di rumah dia tertekan,” balas Kelly.
“Kasihan... apalagi yang jadi juara satu Aol, Mira pisti tambah kesal. Terlebih dia selalu bersikap buruk pida Aoi karena tidak menyukai cowok itu,” Riku mendesah sedih.
“Hmm, pasti akan ada pertempuran sengit nih. Mira lalu ingin jadi yang pertama, terbaik, dan terdepan. Dia begitu terobsesi menjadi nomor satu, makanya dia ..sampai kurang gaul gitu. Heran deh, padahal dia pintar. Kurang apa lagi, coba? Aku aja yang rada oon gini inasih nyanai... ,” cerocos Kelly.














Riku tersenyum mendengar ocehan Kelly. Benar kata Mira, ternyata Kelly memang terlalu banyak bicara alias cerewet!
Jantung Mira berdebar kencang. Kakinya gemetar ketika melewati pintu masuk rumah. Benar saja, yang dia takutkan jadi kenyataan.
“Kenapa bisa begini, Mira?” tanya sebuah suara. Tegas dan begitu mengintimidasi.
Mira berhenti. Bahkan dia tidak berani menatap mata orang yang barusan menyapanya.
Mama berdiri tegak di depan Mira. Tangannya mengacungkan sehelai koran. Mira sudah tahu, Mama pasti memburu koran han itu demi melihat pengumuman hasil lomba. Begitu tahu Mira hanya juara kedua, pasti Mama marah.
“Siapa Aoi? Dia satu sekolah denganmu, tapi kenapa dia yang menang? Bukankah Mama sudah menekankan padamu untuk selalu jadi yang terbaik? Pasti kamu tidak berusaha sungguh-sungguh sampai bisa kalah dan anak bernama Aoi itu!”
Mira membisu. Mendengar marnanya menyebut nama Aoi, hati Mira geram. Kalau sebelumnya dia hanya sebatas kesal melihat wajah Aoi yang masam, kali itu dia betul-betul marah pada cowok itu. Awas saja, akan kubalas sakit hatiku ini!. Jangan harap kamu bisa hidup tenang, Aoi! batin Mira menyumpah-nyumpah.
“Ingat, Mira, Mama sungguh kecewa padamu. Pokoknya tahun ini Mama ingin melihat karnu jadi pemenang. Ikut sebanyak-banyaknya lomba, dan jadilah juara. Tidak ada artinya jika kamu
hanya jadi yang kedua. Buktikan pada Mama kamu memang anak Mama yang hebat!”
Kepala Mira semakin tertunduk. Kata-kata dan suara Mama menusuk-nusuk gendang telinganya. Kepalanya pusing seketika. Obsesi Mama untuk menjadikan dirinya juara betul-betul meneror mentalnya. Ah, Mira sungguh capek!
BERJAM-JAM membenamkan wajah di bantal sambil menangis betul-betul menguras energi. Dada sesak, mata pedas, dan suasana hati panas. Menyebalkan!
“Aku nggak boleh cengeng!” gumam Mira. “Daripada suntuk di rumah, mendingan aku ke rumah Kelly saja.”
Mira bangkit dan tempat tidur dan bersiap-siap mandi. Ia memilih baju berwama ceria: T-shirt garis-garis merah dan krem, serta celana jins selutut. Sepatu kanvas merah melengkapi penampilannya. Sporty dan nyaman.
Walau pikiran masih ruwet, Mira bersenandung saat mandi dan berdandan. Lumayan mengurangi kesedihan. Ah, kalau boleh jujur, hati Mira masih mendung. Namun, cewek itu tak mau larut dalam kesedihan.
Mira bergegas ke luar kamar, ingin cepat-cepat sarnpai di rumah Kelly. Namun, betapa kaget Mira saat membuka pintu rumah. Kelly dan Riku tengah duduk di bangku teras.
“Kalian... ?”
“Aih... kok segitu kagetnya sih, Mir? Biasa aja, kali!” celetuk Kelly nyengir.
“Kami mau mengajakmu jalan-jalan,” kata Riku seraya hangkit dan duduk. “Mau, kan?” Mira tersenyum lebar. Dia memeluk Kelly. “Kelly, kamu sungguh pengertian. Aku baru saja mau ke rumahmu, eh kalian justru ke sini.”
“Oh, ya? Kebetulan banget dong kalau gitu. Yuk buruan, sopirku menunggu!” ajak Riku.
Sepanjang perjalanan mereka mengobrol banyak hal. Rupanya Kelly dan Riku memang berniat menghibur Mira. Tak henti-henti keduanya melemparkan lelucon. Mira benar-benar merasakan hangatnya persahabatan. Apalagi sekarang ada Riku yang sangat baik dan perh atian pada Mira. Walau baru kenal, Riku cepat mengakrabinya tanpa canggung. Riku terkesan dewasa di mata Mira.
“Eh... omong-omong, kita mau ke mana?” tanya Mira.
“Jalan-jalan ke mal, sekalian makan malam, biar kamu nggak bete dan nggak perlu minum obat pembuat tawa!” balas Riku sambil menoleh pada Mira yang duduk di belakangnya. Mira tersenyum. “Terima kasih ya, Ri!”
“Yap!” balas Riku tersenyum. Hatinya berbunga-bunga karena dapat kesempatan jalan-jalan bersama Mira.
“Tuh, Riku baik banget kan, Mir?” bisik Kelly. “He-eh,” balas Mira.
Kelly tersenyum-senyum sendiri, kemudian mengajak Riku ngobrol tentang hobi masing-masing. Mira mencoba jadi pendengar yang balk. Dalam hati ia bersyukur punya sahabat yang menopangnya saat ia jatuh. Mira tak lagi merasa sendirian.
Walau mungkin hanya sesaat saja dia bersenang-senang dan harus kembali berhadapan dengan Mama sepulangnya dari jalan-jalan, setidaknya Mira terhibur.
Sesampainya di mal, mereka main di game center. Mira tidak begitu berselera bermain. Temyata tidak mudah membuang gundah. Mira seperti linglung. Kepalanya celingukan mengamati tingkah remaja-remaja yang tengah bermain, namun tatapannya nyaris kosong. Mira merasa sepi di tengah keramaian.
“Ayo, Mir, gantian kamu yang main!” ajak Riku begitu game over.
Mira menggeleng. “Aku lagi nggak kepingin main, Ri. Aku mau keliling-keliling dulu, ya. Kamu main lagi aja sama Kelly.”
Riku mendesah kecewa, tapi dia mengerti suasana hati Mira. Maka diberikannya senyum termanisnya buat Mira. “Oke, tapi jangan sampai nyasar, ya. Kalau setengah jam lagi kamu nggak balik ke sini, aku lapor ke bagian informasi Iho. Namamu bakal berkumandang ke seantero mal ini. Hihihi.”
“Ah, biar saja. Biar kondang sekalian!” balas Mira sambil melengos dan berlalu, meninggalkan Riku yang bengong melihat tingkah cuek Mira.
Mira berjalan-jalan di sekitar arena game center. Pikirannya masih digelayuti peristiwa seharian tadi: kalah lomba dan kemarahan Mama. Tak ada hal yang lebih menarik bagi Mira selain menjadi juara dan kebanggaan Mama. Mira selalu berpikir, Mama sibuk bekerja di luar kota karena Mira kurang bisa dibanggakan. Mungkin Mira tak cukup berarti bagi Mama.
Seseorang yang tidak cukup berarti mudah ditinggalkan dan dilupakan.
Sungguh Mira sangat menyayangi Mama. Makanya dia mati-matian mencoba menyenangkan hati Mama. Memang terselip juga perasaan takut pada Mama. Mama keras dalam mendidik putrinya sehingga Mira sering tertekan. Namun entah mengapa, Iama-kelamaan obsesi Mama menjadi obsesinya juga. Jauh di lubuk hati, Mira pun tergila.gila menjadi yang pertama dalam segala hal. Mungkin itu yang dinamakan faktor genetik. Mira mewarisi sifat mamanya.
Mira mengangkat bahu. Terus-terusan berpikir tentang hal itu membuat kepalanya pusing. Baiklah, aku harus mencoba santai. Mumpung di mal, mendingan aku belanja barang yang kusukai. Daripada stres tidak jelas, tak ada salahnya bersenang-senang, pikir Mira. Ia menuju bagian fashion remaja. T-shirt dan jins pakalan kebangsaan Mira, tapi kali itu dia ingin mencoba sesuatu yang baru untuk mengusir jenuh.
Kalau aku pakai gaun, bagus nggak ya? batin Mira sambil tertawa kecil. Hihihi, tak ada salahnya kucoba!
Mira menyambangi bagian gaun remaja. Lucu juga rasanya. Sebelumnya, jika menemani Kelly membeli baju, Mira dibuat mati bosan saat sahabatnya itu berulang kali minta pendapatnya. Bagus yang polkadot atau yang gambar hati? Manis yang pink atau hijau muda? Aduuuh... cute banget! Jadi pengen beli semuanya! Seperti itu ocehan Kelly ketika memilih baju. Lebay! Biasanya Mira geleng-geleng atau malah merutuk gemas.
Kini Mira kebingungan sendiri. Koleksi baju yang kecewek-cewekan itu lucu-lucu. Variasi model, motif, dan warna sungguh menarik. Seperti apa penampilan Mira saat mengenakan gaun? Haha, pasti aneh. Rambut Mira kan cepak. Ditambah pembawaannya yang tomboi, sudah pasti Mira bakal terlihat ajaib.
Apa aku coba dulu aja ya? Siapa tahu cocok.
Mira geli sendiri. Namun dibawanya juga dua gaun ke kamar pas. Satu gaun kerut di bagian dada dan memakai tali bahu, satu lagi gaun bergaya vintage tanpa lengan dan berkerah runcing. Mira agak ragu saat berjalan menuju kamar pas. Sesekali ia menoleh ke sekeliling, takut kepergok Riku dan Kelly, atau kenalan yang mungkin sedang berkeliaran di mal ini. Maklum, Mira menganggap dirinya sedang bersikap konyol. Tapi tak apalah, buat variasi hidup, pikir Mira. Mira mematut diri di depan cermin. Hahaha, aneh sekali! Ingin rasanya dia tertawa sampai puas, tapi takut didatangi pramuniaga atau satpam. Terpaksa dia menahan tawa dengan menggigit bibir. Mumpung sendirian di kamar ganti, Mira bergaya bak foto model yang tengah berpose untuk pemotretan sampul majalah. Lagi-lagi, tawa Mira hampir meledak.
Bertingkah konyol ternyata kadang diperlukan untuk membuat rileks pikiran. Karena itu, Mira tak ragu-ragu membawa dua gaun yang telah dicobanya ke meja kasir. Dia bisa mencobanya lagi di rumah sepulang nanti. Bahkan komplet sambil berlenggak-lenggok Seperti peragawati di catwalk. Mira tersenyum sendini memikirkan hal itu.
“Hai!” Seseorang menepuk punggung Mira.
Mira terlonjak kaget. Kelly dan Riku berdiri di belakangnya.
Ups... buru-buru Mira menyembunyikan tas belanjaan ke belakang tubuhnya. Usaha yang sia-sia, tentu saja. Untunglah dua temannya itu datang setelah kasir selesai memasukkan belanjaan. “Eh, belanja apa tuh?” Kelly melongok ingin tahu.
“Cuma kaus kaki,” jawab Mira asal saja.
“Beli berapa pasang? Perasaan kok isinya tebal amat?” Kelly menyelidik.
“Ah, mau tahu aja!” Mira melengos, lalu berjalan cepat.
Mau tak mau Kelly dan Riku ikut berjalan cepat menyusul Mira.
“Eh, jangan lupa, kita makan dulu,” kata Riku.
“lya, Mir. Udah lapar nih!” kata Kelly sambil menjejeri langkah Mira. “Kamu sih, tadi nggak ikutan ngegame. Tumben nggak menggunakan otakmu untuk mengalahkan lawan dalam permainan, hehehe. Kamu pasti bosan ya, selalu jadi pemenang kalau lawan aku?” cerocos Kelly.
Mira manyun dan berjalan makin cepat.
“lh... sensi amat sih?” Kelly heran.
Riku menepuk punggung Kelly. “Mira masih kalut. Saat ini dia tidak butuh kata-kata. Sebaliknya, dia butuh telinga yang siap mendengarkan jeritan hatinya. Yuk, kita susul dia. Kita beri dia kesempatan curhat biar hatinya plong.”
Kelly mengangguk, lalu buru-buru menyusul Mira. Mereka menuju food court dan mengambil tempat di pojokan. Untunglah food court tidak terlalu ramai karena bukan malam Minggu. Seandainya tadi Mama tidak berangkat lagi ke luar kota, mana mungkin Mira berani keluar malam sementara besoknya harus sekolah.
“Ayo, pesen yuk!” ajak Kelly tidak sabar.
“Nanti dulu. Ada teman yang akan bergabung sebentar lagi,” kata Riku. “Dia yang akan traktir kita.”
“Wah, asyiiik!” pekik Kelly, sementara Mira hanya mengangkat bahu dan kembali melamun. “Sudah lama menunggu?”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Mira. Dia mendongak, menatap si empunya suara. Raut wajahnya langsung berubah marah begitu melihat siapa yang datang. Aoi. Cowok congkak itu berdiri tanpa senyum dan tak sedikit pun melihat pada Mira. Dia langsung menarik kursi kosong dan mendudukmnya. Kursi itu tepat berada di hadapan Mira.
Aoi tidak sendiri. Dia datang bersama Mei, teman sekelas Aoi dan Riku. Mei yang cantik dan kerap jadi model sampul majalah itu sangat ramah. Dengan hangat dia menyapa Mira dan Kelly sambil menebar senyum.
“Nah, ini dia orang yang akan mentraktir kita!” seru Riku.
“lya, kalian boleh makan apa saja Iho!” balas Aoi.
“Apa-apaan nih?” tanya Mira bingung bercampur geram.
“Hmm... ternyata ada kamu di sini.” Komentar Aoi jelas menampakkan ketidaksukaannya. “Tapi nggak apa-apa kok, itung-itung bagi rezeki. Aku mentraktir kalian karena hari ini aku menang lomba karya ilmiah,” jelas Aoi sambil melirik Mira, seolah menyindir cewek itu.
“Aku akan bayar sendiri makananku! Aku nggak mau ditraktir dia!” balas Mira ketus.
“Oh, silakan saja. Aku juga malas mengeluarkan uang untuk cewek ketus kayak kamu!” balas Aoi tak kalah sengit.
“Lho, Mira kan juga juara. Harusnya kita makan dua kali nih karena ada dua juara!” seru Mei mencoba mencairkan suasana. Tawanya yang renyah ikut memamerkan sederetan gigi putih dan rapi. Ah, Mei memang cantik sekali.
“Tahun depan aku akan traktir kalian semua di restoran mahal. Karena saat itu akulah juaranya,” balas Mira tak mau kalah.
“Heh! Sudah-sudah! Kita berkumpul di sini kan untuk makan!” lerai Riku sambil bangkit. “Aoi, kupesankan sekalian ya?”
Kelly juga beranjak mengikuti Riku sambil berkata ringan, “Akan kupesankan untukmu juga, Mir!”
“Aku juga mau cari-cari makanan yang lezat, mumpung ditraktir Aoi!” seru Mei, kemudian ngacir.
Mira dan Aoi tidak berkutik. Mereka duduk berhadapan, namun sama-sama membuang muka ke arah lain. Keduanya diam dan cemberut. Suasana jadi dingin dan kaku. Mira menyesal diajak jalan-jalan oleh Riku dan Kelly. Kalau tahu dia bakal
dipertemukan dengan Aoi, Iebih baik dia di rumah saja. Mira benar-benar kesal. Maksud hati menghibur diri, kok justru jadi melihat Aoi merayakan kemenangan? Aaargh... sebal!
“Kamu nggak ngasih selamat buat aku?” akhimya Aoi buka suara.
Mira pura-pura tak mendengar, dia sok konsentrasi melihat pengunjung food court yang lalu-lalang. Aoi tampak bersungut-sungut, tapi tak mau menyerah.
“Memang, jadi pecundang nggak enak. Kalau memang kalah, kita harus tetap sportif dan mengakui keunggulan lawan, bukannya jadi pengecut.”
Mira menatap tajam Aoi. “Kamu menyebalkan!”
“Yah... aku sadar, bagimu aku menyebalkan. Tapi aku punya otak yang lebih cerdas daripada otakmu, yang isinya hanya satu, r, satu, alias IRI.” Aoi mencibir.
“Lihat saja nanti, saat aku seusiamu, aku akan jauh lebih berprestasi dibandingkan kamu! Bahkan, sekarang saja aku sudah satu tingkat di bawahmu. Padahal kita beda angkatan!” balas Mira sombong.
Aoi tersenyum mengejek. Matanya menyipit. “Tahu nggak? Usia kita tuh sama. Aku masuk sekolah kemudaan setahun. Kamu tahu kenapa? Karena aku terlalu cerdas!”
Mira kehabisan kata-kata. Wajahnya pucat pasi, seolah ada yang menampamya dengan keras di depan umum. Dia hendak beranjak pergi, tapi Riku dan Kelly keburu datang. Mereka
mencegah Mira. Setengah hati Mira kembali duduk. Walau kesal tak terkira, dia menghargai usaha Riku dan Kelly yang sudah mengajaknya jalan-jalan untuk menghiburnya.
“Mira, kami sudah pesan makanan. Kalian berbaikan dong. Kita kan satu sekolah, jadi siapa pun yang menang tidak masalah. Kalian sudah mengharumkan nama sekolah. Aoi bukan pesaingmu, Mira,” Kelly mencoba menasihati.
“Aku menyesal satu sekolah dengan dia!” seru Mira ketus.
“Kalau aku senang banget satu sekolah denganmu,” balas Aoi. “Kini jelas, aku bukan satu-satunya orang yang punya wajah tanpa senyum. Dengan tampangmu yang seperti itu, jelas-jelas kamu mengganggu pem andangan orang,” sindir Aoi pada Mira.
Kesal bukan kepalang, Mira pergi begitu saja tanpa memedulikan Kelly yang berusaha mencegahnya. Kelly hampir saja mengikuti Mira, tapi Riku mencekal lengannya. “Sudahlah, Kel. Biar dia tenang dulu. Biar dia belajar menghadapi kegagalan dan mengendalikan perasaannya sendiri.”
“Tapi dia sahabatku!”
“Sahabat yang baik nggak menjadi beban bagi sahabatnya, tapi menjadi pendukung,” balas Riku. Kelly duduk kembali. Hatinya tak bisa kesal karena wajah Riku begitu menawan. Yah, Kelly sangat menyukai Riku. Ia tak ingin wajahnya terlihat jelek di hadapan Riku.
“Memangnya kamu ngomong apa sama Mira tadi?” tanya Kelly pada Aoi.
Aoi mengangkat bahu. “Dasar cewek sensi! Ikutan lomba baru pertama kali bisa langsung juara dua, kok masih merasa kurang? Kalau mau jadi juara satu, ya harus berjuang lebih keras! Tapi tetap saja butuh waktu. Aku memulainya jauh lebih awal daripada dia, wajar kalau aku menang. Di luaran sana, bahkan ada yang ikut berkali-kali tapi jadi juara harapan pun tidak. Namanya perlombaan, pasti ada yang menang dan kalah. Kalau dia nggak siap menerima kekalahan, mendingan nggak usah ikut lomba deh”
Kelly merengut mendengar ceramah Aoi. Bagaimanapun Mira sahabatnya. Kelly tidak rela Aoi mengatan gatai Mira, walaupun perkataan Aoi benar. “Ada yang kamu nggak tahu, Aoi,” desah Kelly. “Mira sebenarnya bisa menerima kekalahan. Tapi tidak dengan mamanya. Itu makanya dia kalut.”
Aoi tersenyum masam. Dalam hati timbul rasa kasihan pada Mira. Tapi ia telanjur kesal pada kelakuan Mira saat di lapangan sepak bola waktu itu. Cewek itu menyepelekannya.
“Lho, mana Mira?” Mei datang dan langsung mengambil tempat duduk.
“Kabur. Nggak usah mikirin dia deh. Dasar cewek bete!” balas Aoi bersungut-sungut.
“Ehem... kamu apa-apain dia ya?”
Aoi mendelik pada Mei. “lya. Aku kerokin punggungnya pakai palu!” jawabnya ketus. Riku dan Kelly ngikik. Mei mengerutkan kening, bingung karena belum paham apa yang terjadi antara Mira dan Aoi.
“Jadi, bagaimana nih? Nggak apa-apa, Mira kita biarkan pergi?” Tak urung Kelly khawatir juga. “Sudahlah, dia kan sudah besar. Nggak bakalan nyasar. Nanti kita cari Mira setelah kita makan. Laper banget nih!” kata Riku.
Kelly mengangkat bahu dan mulai menyuap makanan ke mulut. Namun suasana telanjur kaku. Mereka makan tanpa mengobrol sedikit pun. Mei tidak bertanya lagi, walau sesekali matanya menyelidiki raut wajah teman-temannya. Mungkin Mei sungkan pada Aoi. Cowok itu benar-benar bermuka masam. Kalau tidak kelewat lapar seperti saat itu, mungkin Kelly tidak berselera makan sama sekali.
Usai makan, Kelly melihat arloji. “Hampir jam sembilan nih. Sebentar lagi mal tutup. Terus, Mira gimana? Kasihan kan dia kalau harus pulang sendirian?”
“Halah, susah amat sih! Kamu kan bawa HP. Tinggal ditelepon aja tuh anak, pastiin ada di mana sekarang,” kata Aoi ketus. “Lagian, pulang sendiri juga apa susahnya. Taksi banyak kok.”
“lh, kamu kok gitu sih?” Kelly rada emosi. “Kasihan dia kalau pulang naik taksi sendirian malam-malam. Kalau di jalan dirampok bagaimana? Atau di.. di... huh!” Kelly bergidik sendiri.
“Huss... jangan mikir yang nggak-nggak ah!” Mei ikutan bergidik. “Betul kata Aoi, kamu telepon dulu aja. Dia ada di mana sekarang. Supaya kita nggak susah nyarinya. Mal ini kan luas. Atau jangan-jangan tadi dia langsung pulang naik taksi.”
“Oke deh, aku telepon sekarang.”
Tangan Kelly merogoh isi tas. Dahinya berkerut. Dia berhenti sejenak. Wajahnya tampak berpikir. Lalu, kembali dirogohnya tas cangklong kecil itu. Kelly menggigit bibir. Dia meringis. “HP-ku temyata ketinggalan di rumah, hehehe.”
“Nggak hafal nomornya?” tanya Mei.
“Nomor HP-ku sendiri saja aku nggak hafal,” jawab Kelly lugu, membuat Mei dan Riku tertawa. Sementara Aoi hanya tersenyum sinis.
“Terus gimana dong? Riku, kamu punya nomor Mira, kan?” tanya Mei.
“Nggak.”
“Jadi, sekarang kita harus cari Mira dulu nih?” tanya Mei bingung. “Masalahnya, aku belum ngerjain PR!”
“Ya ampun! PR!” pekik Kelly panik. “Aku juga belum ngerjain PR matematika! Aduh, bagaimana nih? Aku kan lemot kalau ngerjain matematika. Satu soal aja mesti mikir setengah jam lebih. Alamat nggak tidur sampai besok dong!” rengek Kelly.
Riku tertawa. “Hahaha, ada-ada aja kamu, Kelly. Ya sudah. Kamu pulang duluan sama Aoi dan Mei aja deh. Biar aku sendiri yang cari Mira. Tapi ingat, begitu sampai rumah, kamu telepon Mira untuk memastikan. Siapa tahu dia memang betul sudah di rumah. Lalu, segera telepon aku, ya. Aku nggak akan berhenti mencari Mira sebelum dapat konfirmasi darimu. Tapi semoga saja aku bisa menemukan Mira sebelum kamu sampai di rumah.”
“Oke. Aku minta nomor HP-mu dong,” pinta Kelly.
Riku menuliskan nomor HP-nya di tisu, lalu menyodorkannya pada Kelly. “Jangan dipakai buat ngelap ingus, ya,” selorohnya.
Kelly tertawa kecil. Bagaimana mungkin buat ngelap ingus? kata Kelly dalam hati. Tisu ini bakal disimpan di bawah bantal, siapa tahu bisa mimpiin Riku. Kelly senyum-senyum sendiri memikirkan hal itu.
“Hai, malah cengengesan!” tegur Mei. “Yuk, pulang. Kudu cepat-cepat ngerjain PR biar besok bisa bangun pagi nih!”
“Oke deh!”
Akhirnya Kelly, Aoi, dan Mei memisahkan diri dan Riku. Riku sebenarnya bingung mau mencari Mira ke mana. Tapi karena mal sudah mau tutup, cowok itu memutuskan untuk berdiri di depan pintu utama. Dia mengamati orang-orang yang mulai berbondong keluar. Lama Riku mematung dengan mata jelalatan, namun sosok yang dicarinya tak juga muncul. Hingga rombongan pegawai mal keluar, Mira belum juga nongol.
Oh, apa aku langsung ke parkiran saja? Jangan-jangan Mira menunggu di dekat mobil, pikir Riku.
Riku memarkir mobil di luar mal, jadi dia tidak perlu masuk kembali untuk menuju tempat parkir. Suasana di jalan masih ramai. Para pegawai bergerombol sambil bercanda ria selagi menunggu angkutan umum atau jemputan pacar. Begitu juga para keluarga yang habis berbelanja kebutuhan sehari-hari atau sekadar refreshing, dan para remaja yang sedang hang-out atau pacaran. Riku tersenyum melihat sepasang remaja yang tengah
duduk di taman. Mereka asyik ngobrol sambil ngemil kentang goreng. Sesekali tawa meledak, dan si cewek menghujani tubuh cowoknya dengan cubitan mesra.
Riku tertegun. Di bangku di sebelah sepasang muda-mudi itu, seorang gadis berambut pendek tampak duduk melamun.
Mira.
Dengan hati-hati Riku menyapa gadis itu. “Mira? Untunglah aku menemukanmu di sini,” sapanya sambil duduk di samping Mira.
Mira menoleh sejenak pada Riku, kemudian kembali berpaling ke arah semula. Dia masih sedih dan kesal.
“Kami mengkhawatirkanmu, tapi sengaja nggak mengikutimu tadi. Soalnya kamu pasti ingin sendirian.”
“Kelly mana?”
“Dia pulang duluan sama Aoi dan Mei. Katanya dia belum mengerjakan PR matematika.”
“Anak itu,” desis Mira, “selalu saja menunda mengerjakan PR sampai malam terakhir. Ujung-ujungnya, tengah malam atau dini hari dia kerap meneleponku, meminta jawaban yang benar.”
“Hah? Sampai segitunya?”
Mira tertawa kecil. Ketegangan di wajahnya mulai cair. “Benar. Kelly memang sering bersikap konyol. Tapi, dia baik dan lugu. Aku senang bersahabat dengannya. Keluarganya pun hangat dan ramah. Apalagi mamanya, baik sekali. Masakan mama Kelly tak ada duanya deh!” Mira berbicara berapi-api.
Riku tersenyum lebar. Dia senang melihat wajah Mira cerah kembali. Tapi tak lama kemudian Mira kembali muram.
“Seandainya mamaku seperti mama Kelly,” gumam Mira.
“Ssstt... nggak balk membanding-bandingkan orangtua. Semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Begitu juga mamamu. Hanya mungkin saja caranya tidak sesuai dengan keinginanmu.”
Mira mengangkat bahu. “Aku capek harus selalu jadi yang nomor satu.”
“Kalau begitu, ya berhenti aja. Kamu nggak harus selalu menuruti orangtuamu jika memang membuat jiwamu lelah. Pelan-pelan, berilah pengertian pada mamamu. Aku yakin mamamu akan mengerti.”
Mira menggeleng sedih. “Kamu nggak mengerti mamaku, Ri. Dia sangat ambisius. Keras. Dan kamu tahu, yang membuat segalanya menjadi sulit karena...,” Mira berhenti sejenak, menghela napas berat, “di dalam diriku ada sifat mamaku. Walau Ielah, temyata aku menginginkannya, Ri. Menjadi juara, menjadi nomor satu, menjadi pemimpin. Hal-hal tersebut menguasal pikiranku. Saat ini aku memikirkan untuk...”
“Apa yang kamu pikirkan, Mir?” Riku tidak sabar ingin tahu.
“Menjadi ketua OSIS.”
Riku mendesah.” Itu tujuanmu murni atau sekadar menjegal Aoi yang juga mencalonkan diri?”
“Aoi mencalonkan din jadi ketua OSIS?” Mira mendelik jengkel. “Dia lagi... dia lagi...”
Riku mengangguk. “Kukira kamu sudah tahu. Tapi kamu mencalonkan diri memang kepingin atau karena mamamu? Atau lebih konyol lagi, untuk balas dendam pada Aoi?” Riku menatap tajam mata Mira.
Mira mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi kurasa Mama akan bangga kalau aku terpilih jadi ketua OSIS.”
“Jadi, kamu melakukan semua hal karena mamamu? Kapan kamu melakukan untuk dirimu sendiri? Motivasim u hanya agar dibanggakan mamamu, bukan karena kamu ingin belajar berorganisasi dan mengembangkan din. Dangkal sekali, Mira.”
“Biar saja. Dan sekarang, setelah tahu Aoi mencalonkan diri, hmm... mungkin kamu benar. Aku ingin balas dendam pada cowok masam itu!”
“Itu konyol, Mira!”
Mira menunduk. Kata-kata Riku benar dan kebenaran itu sangat menyakitkan Mira. Tiba-tiba Mira malu pada Riku yang begitu dewasa dan bijaksana. Tidak seperti remaja pada umumnya, pemikiran dan sikap Riku jauh lebih dewasa.
“Terima kasih, Riku. Aku tahu kata-katamu benar. Tapi aku belum bisa menerima kekalahan dari Aoi. Aku ingin membuktikan bahwa aku lebih hebat daripada dia.”
Riku mendesah, “Kamu ambisius, Mira. Cobalah melakukan sesuatu karena dirimu, bukan harena hal-hal di luar dirimu.
Kalah atau menang, kamu tetap puas, karena kamu belajar dan prosesnya, bukan mencari hasil semata.”
Mira menerawang jauh, bagaimanapun dia belum bisa menerima saran Riku. Tidak kali ini. Mira akan berjuang mati-matian untuk menjadi ketua OSIS. Dia berjanji melakukan itu untuk kepuasan dirinya, bukan untuk mamanya.
“Oke, kita ke mobilku yuk! Sopirku menunggu. Oh iya, ada baiknya kamu telepon Kelly, supaya dia nggak cemas. Tadi HP-nya ketinggalan, dan aku memintanya untuk menghubungimu setibanya di rumah.”
Mira mengangguk, kemudian mencoba tersenyum pada Riku, meski belum berani menatap mata cowok itu yang selalu teduh. Mira masih malu, karena dininya begitu lemah. Dikeluarkannya HP dan kantong celana dan dicarinya nomor Kelly. Namun, HP Mira keburu berbunyi.
“Kelly,” kata Mira pada Riku. “Halo, Kel...”
“Mira, kamu di mana? Baik-baik saja, kan? Aku khawatir sekali. Kalo kamu hilang bagaimana? Nanti aku dimarahin mamamu deh! Eh, kamu sudah sampai wmah keliling-keliling di mal? Riku belum sih? Atau masih nyariin kamu tuh...”
“Stop, cereweeet! Aku sudah sama Riku nih!” potong Mira.
Mira dan Riku terbahak-bahak Ah, untunglah malam itu berakhir dengan tawa.
BEBERAPA hari kemudian Mira sudah ceria kembali. Ia bernyanyi riang dalam perjalanan ke sekolah. Kaki jenjangnya
Iincah melompat dan berlan kecil. Saat mampir ke rumah Kelly, ia meluangkan waktu untuk mencicipi masakan ibu Kelly. Ia pun kembali pada kebiasaan lama: mencium pipi tembam Morati, adik Kelly.
“Wah, Tante senang sekali kamu kembali ceria, Mir! Kamu cantiiik banget kalau tidak cemberut.” Ibu Kelly mencubit gemas pipi Mira sambil tertawa renyah. Wajah Mira bersemu merah.
“Terima kasih, Tante. Emang saya aslinya cantik sih!” Mira mengerling.
“lh, genit!” Kelly pura-pura mencibir.
“Hahaha!” Mira tertawa senang. “Kami berangkat dulu ya, Tante. Dah, Morati sayang!”
“Hati-hati!”Mira dan Kelly berlari kecil sambil tertawa-tawa. Seperti biasa, Riku menanti mereka di jalan.
“Pagi semua!” sapa Riku.
“Pagi, Riku!” balas Mira dan Kelly bersamaan. Kemudian mereka meneruskan perjalanan sambil bersenda gurau. Kelly berjalan di sisi Riku, sedangkan Mira berjalan sendirian di depan mereka. Langkah Mira terlalu cepat untuk diimbangi langkah Kelly. Namun, untuk menjejeri Mira, Riku tak tega pada Kelly, sekalipun Riku ingin sekali berdampingan dengan Mira. Terpaksalah posisi jalan ketiganya tetap seperti itu hingga di sekolah.
“Mir...,” bisik Kelly saat mereka sampai di kelas.
“Hm?” Mira duduk bersandar di kursi sambil meluruskan kedua kaki.
“Riku cakep banget ya! Baik, lagi. Rasanya aku jatuh cinta deh sama dia,” kata Kelly sambil menatap langit-langit kelas. Senyumnya mengembang. Sepertinya dia tengah membayangkan sesuatu. Mira menatap sahabatnya dengan perasaan aneh. Mendadak lidahnya kelu. Ia tak tahu harus berkata apa. Kelly jatuh cinta pada Riku? Kenapa hati Mira jadi tak keruan rasanya? Apa Mira cemburu? Ah, tapi Mira tidak mencintai Riku. Mira yakin dirinya hanya mengagumi Riku. Atau... atau Mira merasa dirinya ditendang keluar dan hati Kelly, kemudian digantikan sosok Riku? Atau... atau karena Mira belum pernah merasakan jatuh cinta pada siapa pun dan tak rela sahabatnya punya pacar duluan? Jadi, siapa yang dicemburui Mira sebenarnya?
“Mir, kok kamu melamun sih? Jangan-jangan...” Kelly menatap curiga pada Mira. Kemudian dia melotot. “Oh, Mira! Jangan bilang kamu juga suka Riku ya!” Mira membulatkan mata. Tangannya berkacak pinggang. Ditatapnya Kelly dengan galak, lalu disemburkann ya kata-kata, “Ck ck ck... sembarangan! Makan tuh Riku!” Kelly nyengir.
“Serius, kamu nggak naksir dia?” tanyanya memelas. Mira berdecak sekali lagi.
Lalu, dengan overacting dia berkata, “Kelly-ku yang baik, aku mengagumi Riku. Dia sahabat yang baik bagi kita, bukan? Tapi itu bukan naksir. Kalau kamu suka dia, tembak secepatnya sebelum Riku disambar sahabatmu yang cantik dan baik ini!” Mira memeletkan lidah, menggoda Kelly. Kelly ngikik. Mira
tersenyum, kemudian menepuk punggung Kelly. “Tenang aja deh, sobat. Riku milikmu, hehehe.”
“Tapi, bagaimana cara menembaknya ya?” Kelly garuk-garuk dahi tak jelas.
“Ambil senapan. Taruh moncongnya di dada Riku, kemudian tank pelatuknya. Gampang, kan?”
“Ah, Miraaaa!” Kelly kesal. “Aku serius, tauuu!”
“Yah, mana aku tahu. Aku kan belum pemah nembak cowok!”
“Hehe, iya ya...” Lagi-lagi Kelly menggaruk dahi yang tidak gatal. Hari itu Kelly menjadi sangat aneh. Saat pelajaran tengah berlangsung dia sering tersenyum sendiri dan tidak berkonsentrasi pada materi yang diajarkan guru. Begitu ada kesempatan bicara dengan Mira, yang dibicarakan Kelly hanyalah Riku. Riku, Riku, dan Riku, nggak ada yang lain. Sampai-sampai Mira sesak napas karena udara seakan terpolusi nama Riku. Huh, menyebalkan kalo sahabat sedang jatuh cinta! rutuk Mira dalam hati.
***
“Kamu sadar nggak sih bahwa kamu beda banget sekarang,” kata Mira saat dia dan Kelly sedang bersantai di kamar Mira yang luas.
“Masa sih? Beda bagaimana?” Kelly penasaran.
“Sejak kamu jatuh cinta pada Riku, setiap hari kerjamu melamun terus. Sambil senyum-senyum sendiri, lagi. Kayak orang nggak waras. Hiiy!” Mira mengedikkan bahu, pura-pura jijik.
“lh, yang benar?” Kelly meringis.
“Iya. Aku sampai mau meledak nih, karena kebanyakan mendengar nama Riku. Tiap hari sampai berapa juta kali nama Riku keluar dan mulutmu? Kayak di dunia ini nggak ada nama lain aja,” omel Mira.
“Ih, lebay!” seru Kelly manyun. “Di dunia ini memang banyak nama lain. Cowok ganteng juga banyak. Tapi yang terganteng dan terkeren cuma Riku. Riku is the best deh!” Kelly ikutan lebay.
“liiihh!” Mira terbawa gemes. Kelly terbahak-bahak melihat tingkah sahabatnya.
“Tenang, pren. Aku masih waras kok.”
“By the way busway, serius nih, kamu suka Riku? Apa sih yang kamu sukai dan dia?” selidik Mira.
“lya. Aku jatuh cinta betulan kali ini. Semua yang ada pada dia aku suka. Aku suka matanya, hidungnya, kulitnya, tubuhnya, senyumnya, tingkah lakunya, bahasa tubuhnya, cara berpikirnya, caranya memandang dunia, caranya berpakaian, gerakan alisnya saat bicara, giginya yang putih, hidungnya yang mancung...”
“Suka bulu hidungnya sekalian nggak?” potong Mira. Kalau dibiarkan, Kelly bisa nyerocos sampai satu jam penuh.
“Oh... iya! Aku juga suka bulu hidungnya yang radar ada nongol ke luar. Menurutku seksi, tau! Trus kalau dia sedang nyanyi, badannya rada goyang-goyang gitu deh. lh, keren sekali. Aku juga suka cara berjalannya. Tiap berangkat sekolah dia berjalan di sampingku.”
Mira buru-buru menutup telinga dengan headset dan mendengarkan musik. Sepertinya tidak bisa dicegah lagi, Kelly tak akan berhenti bicara tentang Riku sampai tenggorokannya serak. “Mira! Kamu nggak dengar ya?!” Kelly sewot begitu menyadari sahabatnya itu memakai headset. Tangannya mencabut headset di telinga Mira.
“Habis, kamu ngomongnya nyerocos kayak kereta api sih. Telingaku sakit dan kepalaku hampir meledak mendengar nama Riku.”
“Trus, gimana dong? Aku berbunga-bunga nih. Kayaknya aku nggak bakalan bisa deh hidup tanpa dia. Aduh... menurutmu dia akan menerimaku nggak?” Mira sampai bengong melihat kelakuan Kelly.
“Ya ampuuun! Sampai segitunya!” seru Mira sambil geleng-geleng.
“Yah, mana kita tahu kalau kamu nggak ngomong ke dia? Makanya buruan tembak! Jadi kamu akan segera tahu dia suka sama kamu apa nggak!”
“Kalau aku ditolak gimana? Kan tengsin!” Kelly menggigit bibir.
“Ya, terimalah penolakan itu dan tetap bersahabat seperti sekarang. Gampang, kan?”
“Gampang menurutmu. Kamu nggak ngerasain sih! Kamu belum pemah jatuh cinta, kan?”
“Udah. Aku jatuh cinta pada kucing, dan langsung patah hati karena Mama nggak ngizinin aku piara kucing!” jawab Mira asal.
“Mira! Serius nih!” Kelly mulai merajuk. Dia melemparkan bantal ke arah Mira. “Jangan godain mulu, kenapa? Aku sungguh-sungguh sangat serius sekali banget-banget.”
“Lebay!” sambar Mira sambil menjulurkan lidah.
“Aaah!” Satu bantal kembali dilempar ke tubuh Mira. “Ya udah, tembak aja kalo udah nggak tahan!” Kelly tiba-tiba merenung. Dia sedang menimbang-nimbang. Mira mendengus kesal. Tiba-tiba hatinya khawatir. Kalau Kelly jadian sama Riku, nanti dia kesepian dong?!
***
Di luar dugaan Mira, hari berikutnya sepulang sekolah Kelly mengajak Riku untuk bertemu di pojok lapangan. Wow! Mira tidak menyangka Kelly seberani itu. Selama ini dia kira sarannya pada Kelly untuk nembak Riku hanyalah pepesan kosong. Mira pikir Kelly tak akan berani. Mira gelisah. Apakah itu artinya Mira takut kehilangan Kelly? Benarkah Mira belum
sanggup berbagi dengan Riku, karena menjadi nomor dua di hati Kelly? Atau...? Ah, Mira tidak tahu. Harusnya dia senang bila Kelly senang. Mengapa perasaannya jadi nggak kewan kayak begini sih? Duh, sungguh Mira bingung bukan kepalang.
Mira menunggu Kelly di taman sekolah dekat gerbang. Kelly tentu saja sedang nembak Riku di bawah pohon beringin di pojok lapangan bola. Apa yang sedang terjadi ya? Kira-kira Kelly gugup nggak? Terus, Riku nerima atau nolak? Ah... Kelly memang nekat! Kepala Mira penuh pertanyaan. Dia nggak sabar ingin segera tahu.
“Ngelamun aja!” Mira tersentak, tapi tak ingin segera menoleh ke asal suara, walaupun jelas-jelas suara itu menyapa dirinya. Mira tahu itu suara Aoi. Cewek itu hanya melirik malas. Terlihat Aoi tengah berdiri santai sambil menyenderkan sisi tubuhnya pada tiang lampu taman. “Mikirin apa sih?” tanya Aoi. Nadanya terkesan menyindir, bukan bertanya.
“Bukan urusanmu!”
“Kamu nggak rela ya Riku jadi pacar sahabatmu?” Aoi tersenyum sinis. “Jangan-jangan, kamu juga suka pada Riku.” Kini Aoi mencibir.
“lh! Apa sih maumu? Kamu senang banget ya, bikin aku kesal!” Mira mengentakkan kaki kanannya. Matanya memelototi Aoi. “Kamu juga udah membuatku kesal dengan pencalonanmu itu!” desis Riku sambil menatap tajam Mira. Mira gugup ditatap seperti itu. Tetapi ia tak ingin terlihat lemah di mata Aoi. Disingkirkannya segenap perasaan aneh itu. Dia mendongak, menatap Aoi dengan congkak.
“Kenapa? Kamu takut kalah? Kamu nggak mau melihatku jadi ketua OSIS ya? Hmm... berarti kamu takut bersaing denganku dong!” Mira memasang senyum meremehkan. Aoi mencibir.
“Lihat saja nanti, kamu akan menjadi nomor dua lagi, Nona Jutek!” Aoi kemudian pergi. Apa? Nona jutek? Grrhh! Mira kesal sekali dengan julukan yang diberikan Aoi. Enak saja aku dipanggil Nona jutek. Huh, dasar Tuan Muka Masarn! Eh, tuan? Mira meralat pikirannya sendiri. Enak saja dipanggil tuan. Cowok Muka Masam mungkin tepat bagi cowok menyebalkan itu. Menyebalkan... yah, julukan yang lebih pas buat dia.
“Aku akan jadi ketua, Mister M!” teriak Mira. “Lihat saja nanti!” Aoi menghentikan langkah. Dia menoleh pada Mira dengan dahi berkerut.
“Apa kamu bilang tadi?”
“Mister M, alias me-nye-bal-kan!” Mira memberi penekanan pada setiap suku kata. Wajahnya nyengir puas. Aoi melipat muka sebelum berpaling dan pergi. Bibimya ngedumel nggak jelas. Mira ngakak. Sungguh puas dan senang hatinya karena berhasil membuat Aoi kesal. Rasain! Cowok sombong! rutuk Mira dalam hati. Tawa Mira terhenti saat dia melihat pemandangan di parkiran. Aoi memasuki mobil Mei. Ooh... jadi Mei pacar Aoi? Perasaan aneh mampir di hati Mira. Apakah semua temannya punya pacar? Apakah hanya dia seorang yang belum punya pacar? Dan sebentar lagi, apakah sahabatnya juga pacaran dengan Riku? Jika mereka pacaran, pasti mereka lebih suka berduaan ketimbang bersama dirinya. Hati Mira tiba-tiba kecut.
“ADA apa, Kel?” Riku masih tak mengerti, mengapa Kelly menyeretnya ke lapangan sekolah. Ingin berdua pula, sedangkan Mira menunggu di taman. “Kamu mau minta diajarin main bola, ya?” seloroh Riku.
Kelly menggeleng kaku. Wajahnya tegang sekali. Diseretnya Riku ke bangku di pinggir lapangan. “Duduk di sini yuk, Rik.”
Riku menurut. Hatinya mulai dag dig dug, merasa ada yang tidak beres. Tapi dia memilih tidak mengatakan apa-apa sebelum Kelly mengucapkan sesuatu.
“Rik... aku... aku...” Kelly sangat gugup. Wajahnya sudah semerah udang rebus. Keringat bercucuran di kening, bahkan telapak tangannya dingin. Duh, kok kakiku gemetar ya? keluh Kelly dalam hati. Untung saja dia duduk. Kalau berdiri, mungkin sudah ambruk ke tanah.
Riku menunggu. Ia menatap Kelly penuh perhatian. Riku prihatin, mengira Kelly sakit.
“Ng... Ri, jangan ketawa, dulu ya...” Kelly berhenti lagi. Batinnya merutuk. Sialan! Mau ngomong cinta ternyata rasanya kayak disidang di depan guru BP dan kepala sekolah!
“Apa kamu lihat aku sedang tertawa?” tanya Riku karena Kelly tak juga mengeluarkan kata-kata lanjutan.
Kelly menggeleng. Kemudian dihelanya napas panjang, dikumpulkannya segenap keberanian, dan dikeluarkannya kata-kata itu. Begitu cepat meluncur dan bibir Kelly sebelum kemudian Kelly menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Aku cinta kamu.”
Diam.
Riku tercengang. Dia mendengar Kelly mengucapkan kata itu, tapi tak begitu yakin. Selain ucapan Kelly tak jelas, juga karena sesudahnya Kelly menutupi wajah. Itu tadi betulan tidak? Kelly menembakku? pikir Riku.
“Bagaimana, Ri?” tanya Kelly, masih dengan wajah tertutup telapak tangan.
“Ha? Bagaimana apanya?” tanya Riku polos.
“Perkataanku barusan...” Suara Kelly semakin lemah.
“Tadi kamu ngomong apa sebenamya?” Riku tidak bermaksud apa-apa, selain ingin mendengar kata-kata itu lebih jelas. Dia takut tadi salah dengar.
Kelly jadi sebal. Riku tahu nggak sih, tidak mudah mengucapkan kata-kata keramat itu, kok malah disuruh ngucapin sekali lagi? Kelly menurunkan tangan dan terlihatlah wajahnya yang memerah. Dia melirik sebal pada Riku. “Masa nggak dengar sih? Tadi kan aku bicaranya jelas. Kamu pura-pura nggak dengar, ya?” semprotnya.
Riku garuk-garuk kepala. Waduh, keluar galaknya deh! “Bukan begitu, Kel. Aku cuma mau memastikan. Habisnya, begitu ngomong, kamu langsung tutup mulut. Kan nggak jelas banget tuh!”
“Ya udah, yang tadi kamu dengar itu benar. Jawabanmu apa?”
Riku bengong. “Oh, harus dijawab ya? Perasaan kamu tadi nggak nanya.”
“lh... Rikuuuu Aku serius. Kamu harus jawab, mau nggak kamu jadi pacarku...” Kelly terdiam. Wajahnya yang sudah merah semakin membara. Mendadak dia malu sekali.
Riku menghela napas panjang. Hatinya galau. Dia takut menyakiti hati Kelly. Tapi bagaimanapun, Riku harus menjawab sekarang. Dia tidak ingin menggantung Kelly dalam status nggak jelas. Cewek sering kebanyakan harapan. Makanya Riku harus tegas. “Kel, maaf. Aku dan kamu lebih baik bersahabat saja seperti sekarang. Aku rasa itu hubungan yang paling indah dan paling tepat bagi kita,” kata Riku lembut.
Kelly terenyak. Rasa sakit menjalar di hatinya. Dia ingin nangis, tapi gengsi dilihat Riku. Karena itu, dia hanya mengangguk lemah.
“Pulang yuk, Ri,” ajak Kelly sedetik kemudian, walau sebenarnya kakinya berat untuk melangkah. Ternyata, begini rasanya ditolak cowok. Sakit!
***
Kelly tidak langsung pulang. Dia malu pada mama dan adiknya karena bisa dipastikan dia tidak bisa menahan tangis sesampainya di rumah. Dia memilih ke rumah Mira dulu. Di rumah Mira sepi, jadi Kelly bisa nangis jejeritan sesuka hati.
Di kamar Mira, Kelly telungkup di ranjang. Wajahnya dibenamkan di bantal. Dadanya naik-turun karena menangis sesenggukan.
Mira menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Kelly terus saja menangis sehingga Mira tidak tahu harus berkata apa. Segala hal yang dikatakan Mira pada Kelly seakan tak berarti sama sekali. Namanya juga orang patah hati. Pasti perasaan sakit hatinya lebih dominan ketimbang logika. Hingga akhimya tubuh Kelly bergerak lebih teratur. Gadis itu berbalik, menatap Mira. Matanya sembap dan merah. Kelly menghapus air mata.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Mira khawatir.
Kelly mengangguk. “Rasanya aku nggak mau lagi bertemu Riku karena malu.”
“Sudahlah. Kan tadi waktu kita pulang bareng, sikap Riku biasa-biasa saja, kan? Dia tetap mengajak kita bercanda seperti biasa. Jadi, nggak akan ada masalah. Kamu dan Riku tetap bisa berteman seperti sebelumnya.”
“Tapi, aku takut Riku jijik melihat tingkahku tadi. Huhuhu...” Kelly kembali menangis.
“Tingkah yang mana?”
Wajah Kelly merona malu. “Tadi aku sempat ngomelin dia saat dia pura-pura nggak dengar waktu kutembak.” Mira ingin tertawa, tapi ditahannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya makin malu.
“Oh, Riku pasti mengerti. Itu reaksi wajar kok. Kamu harus ingat, dia sangat dewasa dan tidak berpikiran sempit seperti kita. Kan kamu sendiri yang bilang ke aku bahwa Riku dewasa, bijaksana, blablabla...” Mira memerot-merotkan bibir. Tapi dia menahan diri untuk tidak terus menggoda Kelly karena Kelly kembali mew ek. “Besok kamu harus sekolah, dan lihatlah betapa dunia masih baik-baik saja. Riku akan tetap menunggu kita di depan pintu gerbang rumahnya, sambil tersenyum tentu.”
“Tapi jangan singgung-singgung masalah ini, ya?” pinta Kelly memelas. “Aku malu. Hiks!”
“He hem.” Mira mengangguk sambil tersenyum.
Kelly tersenyum, lalu memeluk Mira erat.
Mira lega, Kelly akhirnya bisa tersenyum kembali. Mira yakin Kelly bakal mampu mengatasi masalah itu sendiri.
***
Ternyata esok harinya Kelly demam. Mungkin karena dia tidak nafsu makan sementara tenaganya habis untuk menangis. Mira berangkat ke sekolah sendirian. Pikirannya melayang pada Kelly. Ah, jatuh cinta ternyata tidak selalu indah. Jatuh cinta bisa bikin demam!
“Lho, sendirian? Mana Kelly?”
Suara Riku menyentakkan Mira dan lamunan. Ternyata langkahnya telah sampal di depan rumah Riku. Untunglah ada teman jalan. Kalau tidak, Mira bisa jatuh karena berjalan sambil melamun. “Dia demam, mungkin karena kurang istirahat dan kurang makan. Maklum, setelah kamu tolak, dia susah tidur dan nggak mau makan.” Mira melirik Riku.
„Ya ampun, cinta ditolak kan bukan akhir segala“
“Ya, dan dia bisa terima penolakanmu kok. Kemarin aku sudah bicara dengannya. Tapi, Riku, kenapa sih kamu menolak Kelly? Kelly kan manis, riang, dan menyenangkan. Dia cocok buat kamu Iho.”
Sesaat Riku mendesah, kemudian menoleh pada gadis di sisinya. “Aku nggak tertarik padanya. Aku lebih tertarik pada sahabatnya.”
Langkah Mira terhenti. Spontan Riku juga berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan bertatapan. “Maksudmu?” tanya Mira.
“Hem, aku suka kamu, Mir,” ucap Riku lembut. Ekspresinya serius. Tatapannya semakin tajam saja, seolah menagih jawaban segera dan Mira.
Di luar dugaan Riku, Mira justru ngakak. Gadis berambut pendek itu melanjutkan langkah panjang-panjang. Riku terheran-heran dan menyusul pujaan hatinya.
“Memangnya kenapa kalau aku suka kamu? Nggak boleh?”
“Ya nggak boleh dong! Aku kan sahabat Kelly. Nggak mungkin aku menyukai orang yang disukainya. Itu namanya teman makan teman!”
“Kamu benar-benar nggak tertarik padaku sama sekali, Mir?” Riku tetap mengejar Mira dengan pertanyaan. Dia penasaran.
Mira terdiam. Dia berhenti sejenak, kemudian menatap jalanan yang ramai. “Itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu,” gumam Mira.
“Yang jelas dong jawabanmu,” pinta Riku.
“Ah, sudahlah. Kita harus buru-buru. Hari ini aku kampanye nih. Kamu pilih aku jadi ketua OSIS, kan?”
“Mmm, itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu,” balas Riku menirukan Mira.
Mira manyun, lalu berlari kecil.
INI menyebalkan. Lagi-lagi saingan terkuat Mira di ajang pemilihan ketua OSIS adalah Aoi. Walau termasuk anak yang kurang populer karena tidak supel, Aoi mampu memikat teman-teman di sekolah dengan gaya pidatonya yang karismatik. Penampilannya cool sekali.
Mira kebalikannya. Dia berpidato dan berdebat dengan penuh energi. Orasinya berapi-api. Setiap Mira pidato, penonton berteriak heboh. Terutama yang cowok-cowok. Hihi, sejak jadi kandidat ketua OSIS, Mira mendadak jadi idola baru. Wajah dan penampilannya boleh saja pas-pasan, tapi cowok-cowok
menyukai cewek cerdas. Ya, penampilan bukanlah yang utama. Yang penting apa yang ada di dalam hati dan otak.
Pada musim kampanye ini reaksi Mira kian sengit saja bila bertemu Aoi. Pun sebaliknya. Aoi pasti mengejek Mira saat mereka berpapasan. Dua anak itu bagai musuh bebuyutan, tak sekali pun saling melempar senyum.
Akhirnya tiba juga saat penghitungan suara. Kali ini Mira dan Aoi terpaksa duduk bersebelahan. Jantung Mira rasanya tak keruan, berloncatan, dan berdetak kencang. Mira takut kalah. Menjadi wakil Aoi jelas musibah. Dia tak akan sudi menjadi orang kedua setelah Aoi. Lagi pula, kalau dia jadi wakil Aoi, jangan-jangan cowok itu akan semakin mempermainkannya. Pasti Aoi nyuruh-nyuruh melulu. Huh, nggak sudi deh!
Aoi melirik Mira. “Selamat jadi wakil ketua OSIS, Nona Jutek,” bisik Aoi, membuat Mira terjaga dan Iamunan.
“Lihat saja nanti, kamu yang bakal jadi wakilku, Mister M!” balas Mira sengit.
Aoi hanya tersenyum simpul. “Belum pernah anak kelas 10 jadi ketua OSIS. Anak kelas 10 selalu jadi wakil, jadi jangan terlalu pede.”
Upf! Perkataan Aoi menohok tepat di ulu hati Mira. Mira tercekat. Benarkah yang Aoi katakan? Mingkinkah dia menjadi nomor dua? Lagi? Setelah Aoi? Argh... Mira mana mungkin menerima kenyataan itu.
Perhitungan suara masih berlangsung. Perolehan suara Mira dan Aoi kejar-kejaran, sementara tiga calon lain jauh tertinggal. Sulit
memprediksi siapa yang bakal bertengger paling atas. Hingga akhirnya perolehan suara Mira dan Aoi berada persis pada angka yang sama.
“Wah, tinggal satu suara yang tersisa,” kata Ferdy, si penghitung suara sambil mengangkat satu lintingan kertas.
Penonton ramai. Belum pemah ada calon yang sama kuat dalarn kancah pemilihan ketua OSIS di sekolah mereka. Kini satu suara itu akan menentukan nama sang ketua: Mira atau Aoi?
Mira sangat tegang, berbeda dengan Aoi yang terkesan cuek. Mira mengetuk-ngetukkan sepatu di Iantai. Berulang kali dia menelan ludah. Sementara itu Ferdy memperlambat gerakan membuka lintingan kertas, itu pun sambil sengaja melirik Mira dan Aoi secara bergantian. “Mmm... semakin tegang dua kandidat kita ini,” seru Ferdy bergaya bak MC profesional. Dia berlagak mengintip tulisan di kertas.
Mira manyun, Aoi tersenyum basa-basi. Di barisan penonton, Kelly komat-kamit berdoa. Sekelompok anak tak berhenti menyebut nama Aoi, iramanya seperti yel-yel. Kubu Mira tak mau katah, mengumandangkan nama Mira berulang-ulang dengan nada ritmis.
“Baiklah, saya umumkan saja saat ini...” Ferdy menghela napas. “Ketua OSIS terpilih adalah... AOI!”
Jegerrr! Petir seolah menyambar kepala Mira. Badannya lemas dan gemetar. Dadanya seolah meledak. Sementara itu, suara tepukan tangan dan suit-suit membahana. Kontras dengan kondisi Mira, Aoi tersenyum lebar merayakan kemenangan. Dia mengangkat kedua tangan.
“Sudah kubilang, kamu jadi wakilku, Nona Jutek,” bisik Aoi sarnbil tertawa kecil. Mira meradang. Dia kehilangan kendali diri. Tak dipedulikannya teman-teman yang ramai di depannya. Mira berlari ke luar aula. Semua terperangah. Aoi tersentak. Ferdy memanggil nama Mira menggunakan pengeras suara. Mira terus berlari sepanjang koridor sekolah. Air matanya bercucuran deras.
“Mir! Mira!” Seseorang mengejar Mira sambil meneriakkan namanya. Ternyata Kelly.
“Tinggalkan aku, Kel!” Mira menampik tangan Kelly ketika Kelly hendak menenangkannya. Mira bergegas masuk ke toilet, membanting pintu, dan mengunci dari dalarn.
Mira menangis di toilet. Dia benar-benar kesal. Lagi-lagi dia harus menerima kenyataan pahit. Nasib baik tak pernah berpihak padanya. Mira malu pada diri sendini, pada Aoi, dan pada Riku. Mira malu pada teman-teman yang selama ini mendukungnya. Juga pada seisi sekolah yang tadi tumpah ruah di aula untuk menyaksikan perhitungan suara.
Bayangan Mama kembali datang di pikirannya. Mira takut Mama akan marah lagi. Mira takut Mama tak lagi membanggakan dirinya di hadapan teman-teman dan keluarga besar. Mira ingin sekali lenyap dari dunia. Sungguh, Mira tak sanggup menerima kegagalannya kali ini. Terlebih, lagi-lagi dia dikalahkan Aoi.
Dengan setia Kelly menunggu Mira di luar toilet. Biarlah Mira meluapkan kekesalannya hingga puas.
Akhimya Mira keluar dengan mata merah dan sembap. Tanpa suara Kelly membimbing Mira ke wastafel dan memutar keran.
“Kacau benar aku saat ini,” gumam Mira saat melihat bayangannya di cermin.
“Mira, sudahlah... kamu tetap hebat kok. Kamu menjadi wakil ketua OSIS, mengalahkan puluhan teman seangkatan yang juga menginginkan jabatan itu. Kamu hebat, Mir! Tahun depan kamulah ketuanya. Pasti!” Kelly mencoba menghibur Mira.
“Aku maunya tahun ini. Tapi Aoi... Cowok itu selalu mengganggu langkahku!” teriak Mira gemas.
“Usia Aoi setahun lebih tua daripada kita. Wajar saja kalau dia selangkah lebih maju...”
“Dia seusia kita,” potong Mira. “Itu yang membuatku semakin kesal!”
Kelly mendesah sedih. Dia menatap sahabatnya melalui cermin di atas wastafel. Wajah Mira tampak begitu kecewa. Matanya yang lebar dan selalu berbinar kini kelihatan redup tak bercahaya.
“Aku mau sendinian,” desis Mira.
Kelly mendesah lagi. Dengan berat hati ia tinggalkan sahabatnya itu. Mira selalu begitu, selalu ingin menyendiri bila punya masalah. Berbeda dengan Kelly, yang selalu ingin menumpahkan isi hati lewat kata-kata, secepatnya begitu masalah menghampirinya.
“Aku tunggu di depan pintu, ya,” kata Kelly.
Mira tidak menjawab. Dia masih nanar memandang cerrnin.
Sore harinya Riku dan Kelly mengunjungi Mira di rumahnya. Mira tampak tegar dan ceria. “Wah, aku senang sekali melihat kamu sudah tersenyum kembali, Mir,” ucap Kelly lega.
Mira tersenyum masam. “Mama pulang. Kalau wajahku ketekuk kayak remasan kertas, bisa-bisa aku diinterogasi. Kamu jangan cerita dulu ke Mama tentang kekalahanku ya, Kel. Aku belum siap menerima omelan Mama.”
Kelly mengangguk. Dia iba pada sahabatnya. Mama Mira memang sangat berbeda dengan mama Kelly. Mama Kelly tak pernah menuntut apa pun dan Kelly. Apa adanya Kelly sudah membuat mamanya bangga dan bahagia. Yang penting putrinya menjadi anak baik, begitu selalu mamanya berpesan.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Mir?” ajak Riku.
“Nggak ah! Paling nanti ada Aoi lagi. Sori ya, aku nggak mau merayakan kemenangan dia!” Mira merengut.
“Ya ampun, Mir!” seru Kelly gemas. “Terima kekalahan dong! Contoh nih, aku yang bisa berteman lagi dengan Riku. Aku menerima kenyataan dia memang nggak menyukaiku. Ayolah, Mir!” bujuk Kelly.
“Aku kesal. Kenapa harus Aoi lagi? Mungkin kalau ketuanya Riku, aku nggak akan merasa sesakit ini. Aoi gitu Iho! Tampangnya saja menyebalkan kayak gitu. Bagaimana mungkin aku bisa kerja sama dengan dia?”
“Mir, jangan salah sangka. Aoi baik banget Iho. Dia bisa bekerja sama dengan siapa pun, termasuk kamu,” jelas Riku sabar.
Mira mendesah. Hatinya masih kesal. Tapi dia mau juga jalan-jalan ke taman kota bersama Riku dan Kelly. Tentu saja setelah Riku meyakinkan Mira bahwa Aoi nggak akan ada di sana.
“Gimana, udaranya segar, kan? Jadi pikiranmu ikut segar dan hatimu terbawa nyaman,” kata Riku.
Mereka duduk di tepi danau kecil di tengah taman. Untuk sesaat mereka hanya diam dan menikmati pemandangan asri. Air danau beriak lembut, angin berembus sepoi-sepoi. Benar kata Riku, pikiran Mira menjadi lebih tenang, hatinya pun berangsur senang.
“Aku punya cerita,” Riku membuka suara. “Dulu waktu kelas 10, aku kalah telak saat adu gol dengan anak kelas 11. Anak itu berhasil mencetak lima gol, sedangkan aku hanya mampu satu. Kemudian selama di kelas 10 aku menjadi pesuruhnya. Sakit banget rasanya. Tapi aku tetap menjalaninya. Hanya saja aku bersumpah, aku akan menjadi pemain terbaik di kelas 11. Rasa sakit itu menyemangatiku untuk berjuang dan berlatih lebih keras. Lihatlah, sekarang aku berhasil. Aku menjadi bintang lapangan hijau. Tiap bertanding selalu ada gol-gol indah dan kakiku.”
“Idiih, kenapa kamu mau menjadi pesuruhnya?” tanya Kelly heran.
“Waktu itu kami taruhan. Yang kalah jadi pesuruh yang menang. Bagaimanapun aku harus konsisten dengan perkataanku sendiri. Permainan bola butuh sportivitas tinggi.
Kalah ya kalah saja. Harus ditenima dengan lapang dada. Akan ada saat bagi kemenangan. Maka, aku jalani hukuman kekalahanku itu. Ada hikmah yang bisa dipetik kok.”
“Memangnya kamu disuruh ngapain aja?” tanya Mira penasaran.
“Apa pun yang dia inginkan. Membawakan pakaian bolanya, membelikan minuman, rnengambilkan handuk, sampai disuruh mengerjakan PR. Tapi tiap dia berlatih, aku selalu mengamati teknik bermainnya. Kuamati dengan saksama. Aku rnempelajari cara membawa bola dan menendang, posisi kaki, dan gerakan badan.”
“Hebat sekali, Riku! Kamu berhasil mengubah masa hukumanmu menjadi ajang belajar, yang membawamu menjadi pemain terbaik di sekolah!” Kelly menatap Riku kagum.
“Ya. Sekarang dia sudah di kelas 12. Dia menjadi sahabat dan teman bermain bola yang luar biasa untukku.”
“Kini kalian bersahabat?” tanya Mira tak percaya.
“lya. Kalian kenal Ruto, kan?”
“Ya ampun!” pekik Kelly. “Jadi Ruto, pemain top yang dulu menghukummu? ldih, aku mau dong kenalan sama Ruto! lya, aku sering banget lihat kamu dan Ruto berlatih bersama!” Mendadak Kelly kumat gaya lebaynya.
“Huh, dasar kamu tergila-gila pemain bola melulu!” canda Riku. Tawanya berderai, membuat wajah Kelly bersemu merah.
“Maksudmu... aku juga harus belajar dan Aoi, gitu?” tanya Mira dengan nada datar.
“Yap! Kalau kamu mau belajar darinya, tahun depan aku yakin kamulah yang jadi ketua OSIS. Aoi pasti mengajarimu banyak hal. Tentu saja kalau kamu mau bersikap rendah hati sedikit,” imbuh Riku.
Mira mengangguk-angguk. Kata-kata Riku benar-benar tepat mengenai sasaran. Mira semakin mengagumi Riku. Benar kata Kelly, Riku sangat bijaksana dan dewasa. Mira bertekad menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tapi benarkah Aoi sebaik yang dikatakan Riku? Maukah Aoi bekerja sama dengan Mira yang sejak awal tidak menyukainya? Mira menelan ludah. Dia takut dirinya bakal menjadi bulan-bulanan Aoi seperti yang dilakukan Ruto pada Riku.
Mira takut Aoi mengejek dan menyuruhnya ini-itu.
Dirinya bakalan tampak seperti pelayan, bukan wakil OSIS. Mira dan Aoi telanjur saling benci. Mungkinkah Aoi bisa menerima Mira?
Ah, Mira sungguh tak bisa menebak.
PELANTIKAN pengurus OSIS berjalan lancar, walau ketua dan wakilnya tak bertegur sapa sama sekali. Sebetulnya sudah banyak yang curiga pada ketidakharmonisan Aoi dan Mira. Tapi gosip belum berkembang. Belum ada yang menanyakan hal tersebut langsung kepada Mira. Seusai pelantikan, Mira buru-buru kembali ke kelasnya.
Beberapa hari setelah pelantikan, suatu sore tiba-tiba Aoi muncul di ambang pintu rumah Mira. Sudah pasti Mira kaget bukan main. Tapi tampang Aoi tetap sedingin es. Ditambah dengan kacamata kotak yang bertengger kaku di hidung, wajah Aoi terlihat seram di mata Mira.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mira tak ramah.
Aoi tidak langsung menjawab. Dia melenggang ke bangku teras dan mendudukinya. “Ini kerjaan buat kamu, wakil ketua OSIS,” kata Aoi sambil meletakkan setumpuk kertas di meja.
“Kerjaan apa?”
“Baca aja sendiri. Tapi, tolong kamu jangan pelit. Minta minum dong. Aku haus banget nih!” Mira bengong sesaat, lalu tertawa dalam hati. Tapi diambilkannya juga minuman dingin untuk Aoi.
“Terima kasih,” kata Aoi sambil tersenyum. Setelah menerima segelas air dingin dari tangan Mira, Aoi meneguknya hingga tandas.
Tumben senyum, batin Mira. Tapi Mira tak membahas. Dia sedang malas bertengkar. Tangannya meraih kertas-kertas yang dibawa Aoi dan membacanya sekilas. “Oh, ini kerjaan OSIS juga?”
“Ya iyalah! Emang kamu kira kerjaan wakil hanya ngeceng di mal?” Aoi kembali ketus.
Mira mendelik kesal. “Ngeceng di mal tapi bareng ketua OSIS sambil ngerjain tugas sih boleh juga.”
Aoi menatap Mira. Yang ditatap pura-pura sibuk membaca.
“Oh... jadi kamu sebenarnya kepingin jalan-jalan sama aku? Naksir aku, ya? Kok nggak bilang dan dulu-dulu sih, Non?” Aoi menggoda Mira.
“Naksir otakmu doang. Nggak naksir tampangmu yang menyebalkan itu. Boro-boro!” balas Mira tanpa menatap Aoi.
Aoi mendengus kesal. Kemudian dia menjelaskan tugas-tugas Mira di OSIS sebagai wakil ketua.
“Duh, sibuk juga ya, jadi wakil,” keluh Mira.
“Emang!” sambar Aoi. “Kamu baru jadi wakil aja sudah mengeluh, apalagi kalau jadi ketua. Bisa mati berdiri!”
“lya... iya. Galak amat sih?” Mira mendelik kesal. “Trus, bagaimana cara mengoordmnir teman-teman ini?”
Aoi menepuk dahi. “Ya ampuuun! Nggak nyangka, ternyata kamu lemot. Masa kayak gitu aja nggak tahu caranya? Lalu, kemarin ngotot mau jadi ketua, memang pikirmu kerja ketua OSIS seperti apa?” Aoi geleng-geleng.
Mira cemberut. “Ya sudah kalau nggak mau ngajarin. Aku bisa belajar sendiri kok!”
Sekali lagi Aoi geleng-geleng. Akhirnya dia mau juga menjelaskan kepada Mira mengenai cara kerja, berbicara efektif, mengevaluasi, serta banyak hal lain yang menyangkut tugas-tugas Mira di OSIS. Aoi menjelaskannya dengan sabar dan telaten.
Mira mengangguk-angguk. Kalau masih kurang jelas, Aoi menjelaskan lagi secara lebih rinci sampai Mira benar-benar mengerti. Benar kata Riku, sebenarnya Aoi sangat balk. Mira jadi merasa bersalah karena selama ini galak pada Aoi.
“Kerja pertama kita mulai besok, dan itu nggak ada dalam catatan kita tadi. Kita mengumpulkan dana buat korban Merapi. Kita akan keliling bersama seksi dana pada jam istirahat pertama di sekolah,” kata Aoi sambil menatap lekat Mira.
“Lalu kita ke Yogyakarta menyerahkan bantuan, gitu?”
“Ya nggak lah! Kita kan bisa transfer ke salah satu stasiun televisi. Bisa juga lewat PMI, atau lewat lembaga nonprofit. Banyak cara, Non! Nggak perlu ke Yogya. Ketimbang ngeluarin uang transpor dan akomodasi di Yogya, mending uangnya disumbangin aja buat para korban.”
“Hehe, kok aku jadi oon gini ya?” Mira garuk-garuk kepala.
“Kalau pintar, kamu udah jadi ketua OSIS.”
Aoi tert awa. “lya... iya!” Mira cemberut.
“Besok, berapa pun hasilnya, kita umumkan pada teman-teman dan guru. Oh iya, khusus untuk anak orang kaya kayak kamu, minimal nyumbang lima ratus ribu.”
“Apa?! Senus nih?” Mira membelalak.
“Nggak usah melotot! Lagian kamu kan wakil ketua OSIS. Kasih contoh dong ke teman-teman bahwa kamu dermawan.”
“Heh! Ini bukan rnelotot. Emang dari sononya mataku besar, tahu!” Mira sewot. “Yang punya uang kan ortuku. Uang sakuku tetap aja standar, nggak jauh beda sama remaja kebanyakan. Lagian, amal kok dipaksa. Suka-suka aku dong, mau nyumbang berapa!” cerocos Mira.
“lya... iya, aku cuma bercanda. Gimana soal sumbangan tadi?”
“Boleh deh. Besok aku nyumbang lima babi!”
Aoi membelalak. Lucu sekali tampangnya, sampai-sampai Mira tertawa geli.
“Aku punya beberapa celengen bentuk babi. Gemuk-gemuk gitu, dan semua penuh karena nggak pernah kubuka. Nah, besok kita bisa hitung sama-sama isinya. Siapa tahu jumlahnya lumayan.”
“Sip! Tapi isinya bukan koin seratusan, kan?”
“lh, menghina amat sih! lsinya lebih dan satu juta tiap celengen, tau! Itu celengan gede banget, dan isinya koin seribuan semua!”
“Serius?” Aoi tampak tak percaya. “Lima celengan belum dipecah sama sekali?” Aoi terheran-heran. Dia tidak pernah membiarkan celengannya penuh dan hanya menjadi pajangan. Aoi selalu memecah celengannya, bahkan sebelum sempat penuh. Selalu ada kebutuhan mendesak yang membuatnya harus memakai uang celengan.
Mira mengangguk sekilas. Dia enggan membahas isi celengannya lagi. “Oh ya, rumahmu di mana?” tanya Mira mengalihkan topik.
“Jauh banget dan sini. Aku tadi naik bus sampal dekat rumah Riku, kemudian jalan ke sini.”
“Lho, kok Riku nggak ikut sekalian ke sini?”
“Riku mau nganterin mamanya belanja,” balas Aoi. “Oh, begitu. Pulangnya bagaimana dong? Kalau balik dulu ke rumah Riku, dia kan nggak ada?”
Aoi tersenyum. “Kan aku bisa naik bus dan sini. Tadi aku mampir di rumah Riku karena aku nggak tahu rumahnu.”
“Hehe, iya ya. Duh, aku kok mendadak jadi bego begini sih!” Mira garuk-garuk kepala.
“Karena berhadapan denganku?” Aoi menjulurkan lidah.
“ldih! Pede banget sih kamu!” pekik Mira sebal. “Karena otakmu dipenuhi ambisi, Non. Makanya jadi orang jangan terlalu jutek. Nanti cepat tua!”
Mira merengut lagi. Aoi memang pintar dan sabar kalau sedang menjelaskan sesuatu. Tapi kalau sudah menyangkut diriinya sendiri dan Mira, cowok itu lagi-lagi bersikap judes. Menyebalkan!
“Eh, minta minum lagi dong,” pinta Aoi. “Mulutku sampai kering nih, gara-gara harus menjelaskan panjang lebar tugas-tugasmu tadi.”
Mira baru akan mengambilkan minuman ketika terdengar suara jeritan dan arah dapur. Mira dan Aoi segera berlari ke dapur. Mbak Nunuk, pembantu rumah tangga Mira, tengah duduk di
lantai. Tangannya memegang telapak kaki kanannya. Wajahnya terlihat kesakitan.
“Kenapa, Mbak?” tanya Mira panik.
“Tersiram air panas, Non.”
“Aduh, gimana ini?” Mira bingung.
“Panggil sopirmu. Kita ke rumah sakit sekarang!” kata Aoi tenang.
“Sopirku lagi cuti. Bagaimana ini?”
“Oke. Tapi mobilmu tidak dibawa sopirmu, kan?”
Mira segera mengambil kunci mobil dan menyerahkannya pada Aoi. Kemudian keduanya memapah Mbak Nunuk berjalan ke mobil. Mbak Nunuk meningis kesakitan. Mira kian panik.
“Ayo, cepet, Aoi!”
“Sabar. Kalau terburu-buru malah kacau semua. Tenangkan pikiranmu. Kaki tersiram air panas nggak bakalan menewaskan Mbak Nunuk!” balas Aoi.
Mobil meluncur ke luar rumah. Sepanjang perjalanan Mira berusaha menenangkan Mbak Nunuk. Tapi dia sendiri justru berurai air mata. Dia tak tega melihat penderitaan Mbak Nunuk yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Aoi tersenyum melihat Mira yang menangis tapi mulutnya tak henti menghibur Mbak Nunuk.
“Heh! Mira cengeng! Kamu sendiri nangis gitu kok menghibur orang lain!”
“Makanya buruan dong!” balas Mira.
Aoi tertawa. Lewat kaca spion, ia melihat wajah Mira yang jelek karena menangis. “lh, kamu jelek banget kalau menangis! Nyesel banget aku punya wakil cengeng dan jelek kayak gitu!” ledek Aoi.
Mau nggak mau Mira menghapus air matanya. Ia merasa malu karena ketahuan lemah dan cengeng. Aoi benar-benar tenang menghadapi kejadian itu. Cowok itu bahkan masih bisa bercanda dan menggoda Mira agar tidak terlalu tegang.
Begitu sampai di rumah sakit, Mbak Nunuk Iangsung masuk dan diperiksa di UGD. Mira duduk menunggu dengan gelisah. Aoi datang membawakan air mineral untuknya.
“Maaf banget ya. Aku merepotkanmu,” kata Mira tulus.
“Daripada bilang maaf, lebih baik bilang terima kasih.”
“E-hem, terima kasih, Aoi. Kamu telah membantuku. Aku nggak tahu apa jadinya andai tadi nggak ada kamu.” “Aku tahu apa jadinya...”
Mira menoleh. Aoi tertawa ringan.
“Kamu pasti akan lari ke jalan dan berteriak-teriak minta tolong.”
Mira tersenyum kecut. “Hehe, mungkin. ltu yang paling mudah kulakukan.”
Aoi menatap Mira serius. “Orangtuamu selalu pergi tiap hari?”
“Iya. Mereka sangat sibuk. Kadang berhari-hari mereka nggak pulang karena ke luar kota. Sekalinya pulang, sehari doang. Itu pun dihabiskan untuk istirahat. Aku sudah biasa menjalaninya sejak kecil. Makanya aku dekat sekali sama Mbak Nunuk.”
“Kamu bahagia?”
Mira menatap Aoi. “Bahagia yang seperti apa maksudmu?”
“Yah, apakah kamu senang menjalani hidupmu?” Pandangan Aoi menusuk mata Mira, seolah ingin menyelidik lebih jauh.
“Mmm... bagaimana ya?” Mira bingung sendiri. “Senang nggak senang, mereka bekerja demi aku juga, kan? Selebihnya sih memang untuk kebanggaan dan kepuasan hidup mereka sendiri. Aku paham, suatu saat mungkin aku juga seperti mereka. Lagi pula aku sudah terbiasa. Jadi nggak masalah.”
Aoi tersenyum. “Hmm... ternyata kamu cukup dewasa ya? Kupikir selama ini kamu kolokan, doyannya ngambek dan jutek ke orang.”
Mira tertawa kecil. Aneh. Tiba-tiba saja seluruh tumpukan kekesalan Mira pada Aoi musnah seketika. Apakah karena Aoi telah menolongnya? Entahlah. Mira merasa lebih baik berdamai dengan sang ketua OSIS itu daripada terus-menerus menganggapnya musuh. Ya, mereka kan harus bekerja sama mernajukan OSIS. Kalau ketua dan wakilnya saja musuhan, bagaimana program OSIS bisa berjalan dengan baik?
Setelah diobati, Mbak Nunuk diperbolehkan pulang. Jalanan macet parah. Mobil Mira maju sedikit demi sedikit, sementara hari mulal gelap.
“Orangtuamu nggak nyariin kamu, Aoi? Biar aku telepon orangtuamu ya, supaya mereka nggak khawatir?”
“Nggak usah. Nggak apa-apa kok. Ayah ngasih kepercayaan penuh ke aku. Jadi nggak apa-apa,” kata Aoi sambil terus konsentrasi mengemudi.
“Ibu kamu? Ibu-ibu biasanya panik kalau anaknya nggak pulang-pulang.”
“Aku nggak punya ibu. Jadi jangan khawatir,” balas Aoi. Air muka Aoi berubah kaku sehingga Mira tak berani bertanya lagi tentang keluarga Aoi.
Hening. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak ada yang membuka mulut hingga mereka sampai di rurnah Mira. Hari telah gelap ketika Mira melepas kepergian Aoi. Mereka saling melempar senyum sebelum Aoi masuk ke taksi. Ah, telah terjadi gencatan senjata rupanya!
SEMINGGU telah berlalu. Siang itu Mira duduk dengan tegang di sofa cokelat yang terasa dingin. Jantungnya jumpalitan saking takutnya. Sementara itu di dekat jendela Aoi menelepon seseorang. Seorang polisi berkumis tebal mengamati mereka dari meja kerjanya. Ya, kini mereka berada di kantor polisi. Rupanya Aoi menyetir sambil melamun sehingga salah jalur. Mereka ditilang. Celakanya, ternyata Aoi tidak mempunyai SIM.
Sejam lalu mereka baru saja pulang dan rumah Mei. Cewek cantik itu didaulat menjadi ketua panitia pentas seni sekolah yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Berhubung hujan, Mira berinisiatif membawa mobil untuk menjemput Aoi yang sedang berada di rumah Riku. Dan situ keduanya menuju rumah Mei. Eh, pulang dan rumah Mei, mereka malah kena tilang. Kalau mamanya tahu, Mira pasti disemprot habis-habisan. Itu yang membuat Mira gemetar. Dibandingkan pada pak polisi, Mira lebih takut pada mamanya.
Aoi mengempaskan tubuh di sisi Mira. Dia mendesah panjang, lalu menatap Mira penuh belas kasihan. “Maaf ya, Mir. Masalahnya malah jadi runyam begini.”
“Ini salahku kok.” Mira berbesar hati mengakui kesalahan. “Tapi... siapa yang akan mengeluarkan kita dari sini? Orangtuaku lagi di luar kota. Kalaupun orangtuaku ada di sini, aku takut dirnarahi Mama.” Mira kian sedih.
“Ayahku sedang dalam perjalanan kemari. Tenanglah.” Aoi mencoba tersenyum. Dia merangkul bahu Mira dan menepuk-nepuk lengan Mira supaya gadis itu merasa tenang.
Mira memang merasa lebih tenang. Perhatian Aoi menghangatkan hatinya. Mira tidak menyangka Aoi begitu tegar dan mandiri. Tak tampak sedikit pun ketakutan di wajah Aoi.
“Kamu nggak takut, Aoi?” tanya Mira.
“Aku nggak takut apa pun, Mira,” desis Aoi. “Hidupku nggak semulus hidupmu. Aku terbiasa dengan situasi yang nggak nyaman. Hal seperti ini akan segera berlalu. Jadi, kenapa harus takut?”
Mira tersenyum. “Memangnya ayahmu nggak marah?”
“Tadi juga sudah marah-marah sewaktu aku menelepon. Tapi dia tetap ayahku, kan? Jadi tentu saja ayahku akan datang menjemput kita. Lagi pula, aku akan mengganti semua uang yang Ayah keluarkan untuk menebus kita nanti.”
“Tapi, bagaimana caranya? Berapa lama kamu harus menabung uang sakumu sampai bisa membayar uang yang telah dikeluarkan ayahmu?”
“Oh, kamu belum tahu ya?”
Mira menggeleng. “Tahu apa, maksudmu?”
“Aku mendesain kaus. Pelanggan tetapnya tim sepak bola dan tim basket sekolah kita. Kaus olahraga tahun lalu juga karyaku.”
“Oh ya? Wah... hebat banget! Sungguh, aku sama sekali nggak tahu kamu berbakat seni.”
“Aku juga menjual kaus pada teman-teman sekolah lain, para tetangga, dan kenalan-kenalanku. Semua desainku sendiri,” lanjut Aoi bangga.
“Wow! Kamu juga berbakat dagang, ya? Hebat deh, Aoi. Jarang ada anak seumuran kita yang sudah pintar cari uang,” puji Mira tulus.
Temyata selama ini Mira benar-benar salah menilai Aoi. Mira jadi menyesal telah memusuhi Aoi. Cowok itu ternyata kreatif dan gigih.
“Makanya kamu harus bersyukur punya orangtua lengkap dan memberimu semua fasilitas, sehingga nggak susah payah mencari uang saku sendiri seperti aku.” Aoi menatap Mira dengan pancaran mata bersungguh-sungguh.
Mira tak berani menatap mata Aoi. Ia hanya menunduk sambil berkata, “lya, aku patut bersyukur. Meski mereka jarang sekali berada di rumah, mereka tetap saja milikku yang sangat berharga.”
“Oh, iya. Babi-babimu temyata benar-benar gemuk. Kurasa kamulah penyumbang terbanyak. Kamu benar-benar tidak sayang menyerahkan semua tabunganmu?”
“Ah, sudahlah. Aku nggak pernah memecahkan celengan karena malas menghitung koinnya, itu saja. Kemarin aku jadi punya kesempatan mengetahul isi babi-babi itu.” Mira tertawa kecil. “Aku ikhlas kok menyerahkan semua tabunganku. Saudara-saudara kita yang menjadi korban letusan Merapi Iebih membutuhkannya ketimbang aku.”
Aoi tersenyum lebar pada Mira, membuat Mira jadi salah tingkah.
Menjelang sore, seorang lelaki berambut gondrong dan beruban memasuki ruangan. Topi kulit bertengger di kepalanya, sementara tubuhnya terbungkus jaket kulit. Dia menyandang sebuah tas besar hitam. Dilihat dan tulisan yang tertera di tas tersebut, sepertinya berisi kamera. Dia ayah Aoi.
Sejenak ayah Aoi menatap Mira dengan pandangan menakutkan. Mata itu agak merah. Bibir kakunya yang tanpa senyum seakan
melengkapi penampilannya yang tidak bersahabat. Bahkan terkesan galak. Mira gentar.
Setelah berbicara dengan petugas polisi dan menandatangani beberapa surat, ayah Aoi menghampiri Mira dan Aoi yang duduk menunggu di sofa.
“Kalian bebas,” kata ayah Aoi. Sikap tubuhnya tetap kaku. Dia berdiri tegak dan tak terllhat tanda-tanda hendak menyapa Mira dengan lebih ramah.
“Terima kasih, Oom.” Mira berdiri dan memberanikan diri mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
Ayah Aoi tak menggubris Mira. Beliau justru memalingkan wajah, menatap anaknya yang masih duduk di sofa. “Aoi, cukup sekali kamu melakukan kesalahan seperti ini. Kalau sampai terulang, tanggunglah sendiri. Ayah tidak mau bantu lagi. Kamu sudah besar. Ingat yang selalu Ayah ajarkan: jangan bergantung pada orang lain, kamu harus mandiri, apalagi untuk kesalahan yang kamu lakukan sendiri!”
“Terima kasih, Yah.” Aoi berdiri lalu mengangguk patuh. “Aoi janji, ini yang pertama dan terakhir.”
Kini Ayah Aoi menatap Mira. Pandangannya tajam menusuk. “Jangan ajak anak saya mengikuti gaya hidupmu! Dia biasa hidup sederhana,” desisnya.
Mira tersentak. Walau pelan, ucapan ayah Aoi menohok hatmnya. Tiba-tiba Mira menjadi gentar.
“Yah...” Aoi terperangah. Dia mencoba menghentikan omongan ayahnya, tapi mulut lelaki beruban itu tak dapat ditahan.
“Jangan jatuh karena perempuan!”
Mira pucat pasi. Ia tidak mengerti alasan ayah Aoi memusuhinya, bahkan pada saat pertama pertemuan mereka.
“Please deh, Yah... .“
“Sudahlah, ayo kita pulang setelah mengantar Nona Kaya ini,” kata ayah Aoi sambil berlalu. Nada bicaranya sangat sinis ketika menyebut kata “Nona Kaya”.
Aoi menarik tangan Mira. Mereka mengikuti langkah cepat ayah Aoi.
Setelah meminta izin pada Mira untuk mengambil alih kemudi, ayah Aoi menyetir mobil Mira. Aoi menemani ayahnya di depan, sementara Mira duduk sendirian di belakang. Mira tak berani berbicara sedikit pun. Dia membeku.
“Kalian masih SMA, seharusnya berempati pada jutaan orang miskin di negeri kita, bukan gaya-gayaan memakai mobil pemberian orangtua. Kalian bisa memakai angkutan umum atau naik sepeda. Itu lebih membumi. Apa kalian juga nyaman terjebak macet di jalanan seperti ini? Ada cara yang sederhana kok malah cari kerepotan!” omel ayah Aoi sambil sesekali melirik Mira dan spion.
“Aoi minta maaf, Yah. Tadi hujan, dan sudah telanjur janji dengan Mei. Jadi Mira berinisiatif membawa mobil.”
“Mei lagi... Mei lagi! Mei yang mirip cemara angin yang habis terbakar itu, kan? Kurus kering, tinggi, sampai ngomong saja nggak becus karena kehabisan energi.”
Sebenarnya Mira ingin tertawa mendengar komentar ayah Aoi tentang Mel, si foto model itu, tapi ditahannya sekuat tenaga. Mira jadi tahu ayah Aoi tidak menyukai Mei dan mungkmn gadis lain yang seperti Mei. Entahlah, mungkin ayah Aoi tidak menyukai gadis macam apa pun. Buktinya, kepada Mira yang sangat berbeda tipe dengan Mei, ayah Aoi pun bersikap antipati.
“Yah, Mei kan teman Aoi. Biarpun seperti itu, Mei baik kok!” Aoi membela Mei.
“Cari teman yang sepadan. Jangan cari teman kaya. Bisa hancur kamu nanti. Orang kaya hidupnya di awing-awang, tidak seperti kita,” cetus ayah Aoi. Tegas dan dingin.
Deg! Mira makin mengerut di tempat. Seolah tubuhnya mengecil begitu saja hingga tak kelihatan. Sepertin ya ayah Aoi tidak menyukai orang kaya, padahal tak semua orang kaya seperti yang ada dalam pikirannya.
Mobil berhenti di carport rumah Mira yang megah. Aoi dan ayahnya segera turun, lalu menyerahkan kunci mobil pada Mira.
“Saya sudah mengantarmu pulang dengan selamat. Sekarang kami pulang. Tenma kasih. Salam untuk orangtuamu,” kata ayah Aoi, tetap tanpa senyum.
“Saya mohon mampirlah dulu, Oom. Minum teh hangat dulu dan makan malam. Mbak Nunuk bisa menyiapkannya untuk
Oom dan Aoi. Orangtua saya sedang di luar kota,” balas Mira takut-takut.
“Terima kasih. Tapi maaf, kami harus segera pulang. Selamat malam,” kata ayah Aoi, kemudian berlalu.
Aoi tak sempat berkata apa-apa pada Mira, dia langsung mengejar ayahnya.
Mira masih termangu di sisi mobil, menatap dua punggung yang kini tak tampak lagi. Mira mendesah sedih, kemudian berbalik, lalu duduk di teras.
Kenapa ayah Aoi seperti itu? tanya Mira pada dirinya sendiri. Mira menggeleng-geleng bingung. Sedih juga ada orang yang sebegitu bencinya pada orang kaya tanpa sebab. Menurut Mira, ayah Aoi picik sekali karena menyamaratakan semua orang kaya sebagai orang yang nggak baik. Mira tak mengerti apa yang dimaksud ayah Aoi, tapi sungguh, dia gelisah setelah bertemu ayah Aoi yang kaku dan menyeramkan.
***
“Aoi!”
Mira berlari kecil menghampiri Aoi yang sedang duduk sendirian di pinggir lapangan sepak bola. Aoi sedang membuka bekal dan bersiap makan.
“Oh... hal, Mira.” Aoi menengadah sambil tersenyum. Dia urung menyuapkan nasi ke dalam mulut.
Mira tersenyum hangat. Entah mengapa, hatinya tenang melihat Aoi tersenyum. Segera gadis tombol itu menjejeri Aoi.
“Kok nggak bawa bekal?” tanya Aoi melihat Mira tak membawa apa pun di tangannya. “Aku masih kenyang. Tadi waktu jemput Kelly, aku ikut sarapan nasi goreng.”
“Wah, enak ya. Besok ikutan dong!” seloroh Aoi. “Hehe, boleeeh. Ibu Kelly pasti senang kalau banyak yang memuji masakannya. Emang enak banget lho masakan ibu Kelly,” Mira berpromosi.
“Baiklah, sekali-sekali aku jemput kamu, trus kita bareng-bareng jemput Kelly,” kata Aoi sambil tertawa.
Mira tersenyum lebar. Temyata, kalau sudah kenal dekat, Aoi menyenangkan, tidak seperti waktu pertama kali bertemu. Kebetulan, ada yang ingin Mira tanyakan pada Aoi: tentang insiden semalam.
“Aoi, aku minta maaf tentang kejadian kemarin. Gara-gara pakai mobilku, kamu dimarahi ayahmu. Dan... ng... ayahmu sepertinya marah sama aku.” Mira meringis. Wajahnya memelas sekali ketika menatap Aoi.
“Ah, itu kesalahanku. Nggak ada hubungannya sama kamu atau mobilmu. Jadi jangan merasa bersalah begitu. Justru aku yang harus minta maaf karena kata-kata ayahku semalam.” Aoi menenangkan Mira.
Mira mengangguk. Tiba-tiba dia ingin sekali ke rumah Aoi. “Aoi, boleh nggak sepulang sekolah nanti aku main ke rumahmu?”
Aoi berhenti mengunyah. Dahinya mengernyit memandang Mira.
Mira menelan ludah dan buru-buru meralat, “Eh, nggak. Aku cuma bercanda. Kalo kamu keberatan, nggak apa-apa kok.”
“Kamu yakin?” potong Aoi. “Rumahku di gang kecil perumahan padat. Di sana panas sekali. Kamu nggak akan betah di rumahku,” balas Aoi.
Mira tersenyum. “Nggak apa-apa. Lagi pula ada tugas OSIS yang harus kita kerjakan bersama, kan? Kita kerjakan di rumahmu aja, ya?”
Aoi mengangguk, meski ragu. Dia memandang mata Mira yang berbinar senang. Ah, bagaimana pendapat Mira nanti? Rumahnya dan rumah Mira sangat jauh berbeda. Rumah Aoi mungkin hanya seluas kamar tidur Mira. Itu pun kamar Mira sudah pasti lebih bagus.
Setelah makan siang dan istirahat sebentar di rumah, Mira mengajak Kelly ke rumah Aoi naik angkutan umum. Sepanjang jalan Kelly terus-terusan mengomel.
“lih... gerah banget sih?” bisik Kelly di dalam angkot. “Keringatan nih, kalau desak-desakan kayak gini. Lagi pula,” Kelly mendekatkan mulut ke telinga Mira, “bapak di sebelahku bau keringat. Hii...”
Mira tertawa kecil. “Itu rezekimu, haha.”
Kelly cemberut. “lh! Kapok deh naik angkot kayak gini. Kamu sih aneh banget, Mir. Untuk apa di garasimu ada mobil? Untuk apa punya sopir? Untuk apa kalau nggak kamu gunakan? Huhuhu...” Kelly mulai lebay.
“Ssst... diam ah! Nggak enak sama penumpang lain. Kesannya sombong amat,” bisik Mira.
“Ah, biarin!” Kelly masih merajuk. “Kepalaku pusing, tau! Angkotnya ngerem-ngerem mulu.” Mira pura-pura nggak peduli. Dia sibuk melihat jalanan dari jendela angkot. Dicocokkannya jalanan dengan denah rumah yang tadi diberi Aoi. “Stop!” pekik Mira tiba-tiba.
Ciiittt! Angkot mengerem mendadak, membuat penumpangnya terguncang. Seisi angkot langsung menatap sebal pada Mira. Kelly apalagi, dia langsung menyenggol lengan Mira.
“Memang rumahnya di sini?” tanya Kelly jengkel.
“Kayaknya sih,” balas Mira sambil buru-buru turun. Kelly mengikuti di belakang sambil mengomel.
Setelah membayar ongkos angkot, Mira melihat kernbali denah yang dibuat Aoi untuknya. Aoi yakin Mira tidak akan bisa menemukan rumahnya, meski denahnya sangat jelas. Tapi Mira yakin bisa menemukan rumah Aoi tanpa hams menelepon cowok itu terlebih dahulu. Bagi Mira, anggap saja ini permainan mencari jejak seperti dalam eskul pramuka.
“lya, aku bingung melihat denah ini. Rumit. Banyak sekali petunjuk gang di sini. Tapi kayaknya kita masuk gang yang itu aja deh” Mira menunjuk salah satu gang di samping pos ronda.
“Ya udah. Kalau kamu yakin, kita cepetan ke sana. Panas sekali di sini nih, Mir. Kulitku bisa gosong!” rengek Kelly.
Mereka memasuki gang kecil itu sambil mencari-cari penjual bensin eceran. Kata Aoi, rumahnya hanya selisih beberapa rumah saja dari kios bensin eceran itu. Tapi Mira tidak menemukannya. Ia kebingungan. Berulang kali ia melihat denah.
“Aduh, Mir. Panas. Pusing. Haus. Lengket. Pulang saja yuk!” keluh Kelly sambil mengipasi wajah menggunakan buku.
“Aku sudah janji mau ke rumah Aoi kan, Kel!” jawab Mira sambil mendelik sebal. Dia sengaja minta Kelly menemaninya supaya bisa bekerja sama menemukan rumah Aoi, temyata keberadaan Kelly justru membuatnya repot.
“Yang janji kan kamu, bukan aku!” tukas Kelly. “Kalau kita muter-muter terus kayak gini, pasti ada orang yang memperhatikan. Kalau kita diincar orang jahat lalu diculik, bagaimana? Aduh... ini kan daerah yang nggak aman, Mir. Banyak orang jahat!” Kelly mulal panik.
Mira semakin kesal. “Kamu nakut-nakutin aja sih? Ah, biarin! Aku nggak mau menyerah. Kita pasti menemukan rumah Aoi!”
“Kita? Huh, aku mau pulang! Aku nggak tahan dengan panasnya!” kata Kelly, kemudian berbalik dan berjalan tergesa.
“Kok kamu gitu sih, Kel?”
“Aku mau pulang naik taksi. Kalau kamu mau ikut pulang ya ayo. Tapi kalau masih mau terus mencari rumah Aoi, aku menyerah!” teriak Kelly tanpa menoleh ke belakang. Ia terus saja berjalan menuju jalan besar.
Mira mendesah sedih sambil memandangi denah. “Kelly... kok nggak setia sih... ,“ gumamnya.
Sudah telanjur pergi jauh, Mira memutuskan akan terus mencari rumah Aoi. Lingkungan itu asing sekali. Seumur-umur dia belum pernah berada di gang Sesempit ini, dengan rumah-rumah kecil yang berdempetan rapat. Sesekali Mira bertanya pada beberapa orang yang lewat atau berada di depan rumah, tapi tak ada satu pun yang mengenal Aoi. Mira putus asa. Kulitnya mulal berkilat banjir keringat. Tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekat Mira.
Sontak Mira menoleh dan seketika memucat. Pengendara motor adalah ayah Aoi!
“Tersesat di hutan rimba?” sapa ayah Aoi sinis.
Cleguk... Mira menelan ludah. “lya, Oom,” Mira tersenyum rikuh. “Saya mencari rumah Oom.” Ayah Mira menghela napas berat sambil menatap Mira tajam. Mira memperlihatkan senyumnya yang paling memelas.
“Yuk, naik!” Ayah Aoi memberi kode pada Mira untuk naik di boncengannya, namun kentara sekali, ekspresi wajahnya kurang senang.
Hati Mira bersorak. Ia langsung nangkring di boncengan motor ayah Aoi sarnbil mengucapkan terima kasih. Entah berapa kali motor itu berbelok memasuki gang-gang kecil. Wah... temyata rumah Aoi masih jauh sekali dan jalan tempat Mira turun angkot tadi. Berarti setiap hari Aoi jalan kaki beberapa ratus meter saat pergi dan pulang sekolah. Wow!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah rumah kecil.
Mendengar suara motor berhenti, Aoi ke luar rumah. Betapa terkejutnya Aoi saat melihat Mira datang bersama ayahnya. Penampilan Mira benar-benar kucel dan lelah.
“Ya ampun, Mira! Masuk yuk!” ajak Aoi kemudian buru-buru mengambil air putih untuk Mira. Dalam sekali tenggak, air putih di gelas tandas. Aoi sampal geleng-geleng.
“Lho, katanya sama Kelly?” tanya Aoi dengan suara keras. Dia sengaja melakukan itu supaya ayahnya mendengar.
“Kelly pulang karena kepanasan waktu nyari-nyari rumah kamu,” balas Mira, juga dengan suara keras. Ia tahu maksud Aoi.
Mungkin Aoi nggak enak hati sama ayahnya karena teman cewek sekolahnya datang sendirian menemuinya. Mira takut ayah Aoi mengira ia dan Aoi pacaran.
Mira dan Aoi kemudian berdiskusi soal beberapa program kerja OSIS yang harus segera dijalankan. Mira sesekali mengamati ayah Aoi yang duduk menghadap laptop di ruang makan. Tak ada sekat antara ruang makan dengan ruang tamu yang sempit. Rumah Aoi yang kecil terdiri atas ruang tamu yang dijejali
koleksi buku dan berbagal foto di dinding, dua kamar tidur bersebelahan, serta ruang makan, dapur, dan kamar mandi di bagian belakang. Ada sedikit sisa tanah di belakang dapur untuk menjemur pakalan. Teras depan yang hanya berukuran 2X4 meter disesaki tanaman hias dan tanaman gantung. Tidak ada ruang keluarga untuk menonton televisi. Bahkan, Mira tidak menemukan televisi di rumah itu.
“Sudah sore, Aoi. Ingat tugasmu!” seru ayah Aoi dan ruang makan. Tatapan ayah Aoi tetap ke layar laptop, tak sedikit pun dia memandang Aoi dan Mira.
“Tugas apa?” bisik Mira pada Aoi.
“Mmm... masak untuk makan malam. Eh, diskusinya besok lagi aja, ya? Kan kita juga perlu pendapat teman-teman lain,” kata Aoi agak canggung. Sepertinya dia malu ketahuan harus masak.
“Boleh. Mmm... aku bisa bantu kamu masak lho. Aku biasa masak. Serius!” kata Mira sungguh-sungguh.
Aoi menoleh pada ayahnya. “Mira boleh membantu kan, Yah?”
“Mmm...” Ayah Aoi hanya berdeham.
Aoi tersenyum. Sepertinya dehaman itu berarti boleh. Aoi mengajak Mira ke dapur. Saat melewati ayah Aoi, Mira sempat melihat layar monitor laptopnya. Temyata pria itu sedang mengedit foto.
“Tapi dapumya kecil lho, Mir. Yang kami masak juga bahan-bahan sederhana. Maklumlah...” Ucapan Aoi menggantung. Dia
sibuk mengeluarkan sayuran dari kulkas dan meletakkannya ke meja keramik di sebelah kompor.
Mira tersenyum. “lya, nggak apa-apa. Sini, biar aku yang potong sayurannya. Sudah dicuci, kan?” kata Mira sambil mengambil pisau dari rak piring.
Sambil memotong-motong sayuran, Mira sesekali melirik ayah Aoi. Tampang ayah Aoi serius sekali. Merasa sedang diperhatikan, tiba-tiba ayah Aoi menoleh pada Mira. Gadis itu tentu kaget, kemudian buru-buru menunduk, bergegas mengambil sayuran.
Suasana mendadak hening. Tak ada yang membuka mulut.
“Mmm...” Aoi berdeham. “Kamu sering masak, ya?” tanya Aoi, heran melihat betapa cekatannya Mira mengaduk sayuran dalam wajan di kompor.
“lya. Aku suka bantuin Mbak Nunuk kalau teman-teman Mama datang. Kan kami harus menyiapkan banyak makanan,” kata Mira sambil mematikan api. Tanda masakannya matang.
“Wah, kayaknya enak nih!” Aoi mengambil sedikit masakan dengan sendok, lalu mencicipi. Matanya melebar.
“Enak?”
“Jauh Iebih enak daripada tumis buatanku,” puji Aoi.
Mira senang sekali. Kemudian dia juga menggoreng tempe. Setelah selesai, dia menyajikan masakan buatann ya di meja.
“Sudah siap nih, Oom,” kata Mira takut-takut. Ayah Aoi menutup laptop. Kemudian dia menatap Mira dengan tajam. Mira ketakutan. Akankah ia diusir, atau masakannya dicemooh?
“Baik. Mari kita makan bersama. Duduklah.” Hati Mira melonjak girang. “Terima kasih, Oom.” Mira mengambilkan nasi, yang tampaknya sudah dimasak sejak pagi, untuk Aoi dan ayahnya dengan riang.
Dia bahagia luar biasa. Perasaan yang sangat aneh menyelusup ke hatinya. Tahu-tahu Mira merasa dirinya sungguh berharga.
“Enak kan, masakan Mira, Yah?” tanya Aoi begitu mel ihat ayahnya makan dengan lahap.
“lya, enak sekali. Seperti masakan... mmm... masakan...” Ayah Aoi seolah berusaha mengingat seseorang.
“Masakan Ibu seperti ini, Yah?”
“Bukan... bukan masakan ibumu. Ini rasanya seperti masakan seseorang dari masa lalu Ayah.”
Ayah Aoi termenung beberapa saat. “Tapi sudahlah... nggak penting!” katanya buru-buru begitu melihat Aoi dan Mira menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ayah Aoi melanjutkan makan, hanya kali ini dengan gerakan canggung.
Selesai makan, ayah Aoi menatap wajah Mira. Tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya, dia tengah mengingat sesuatu.
SEMUA orang dapat melihat betapa ramah dan cerianya Mira akhir-akhir ini. Mata bulatnya selalu berbinar-binar. Wajah Mira
yang manis terlihat semringah dan ramah karena bibirnya selalu menyunggingkan senyum. Sungguh, Mira cantik sekali, seakan hatinya tengah berbung-bunga.
“Wah, belakangan ini kamu ceria sekali!” seru ibu Kelly ketika Mira menjemput Kelly.
“Terima kasih, Tante,” jawab Mira memberikan Senyum manis.
“Lagi jatuh cinta, ya?” goda ibu Kelly.
“Ah, Tante. Nggak kok, Tan!” Mira tersipu.
Kelly keluar dari kamar, berseragam rapi. “lya tuh, Mira kayaknya lagi jatuh cinta,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah ibunya. “Jangan-jangan... aha! Jangan-jangan Mira jatuh cinta pada Aoi deh! Betul kan tebakanku, Mir?” Kelly nyengir pada Mira.
Pikiran Mira melayang. Ia mengingat kembali kebersamaannya bersama Aoi di rumah sakit, di kantor polisi, dan yang paling berkesan tentu saja di rumah Aoi saat mereka memasak bersama. Sekarang Mira dan Aoi sering mengerjakan tugas OSIS berdua. Mira akui, setiap bersama Aoi, hatinya senang dan nyaman.
“Nah, kamu melamun, kan? Idih... benar nih, kamu jatuh cinta pada Aol?” Mata Kelly melebar. Ekspresinya lucu sekali.
“Udah, ah. Yuk berangkat!” Mira bangkit, kemudian melakukan ritual. Dia mencium tangan ibu Kelly, kemudian mencium pipi Morati. “Dah, Tante... Dah, Morati sayang...”
“Mira, Aoi kan miskin... ,“ kata Kelly hati-hati, saat mereka bejalan di trotoar.
“Memang kenapa kalau miskin?” tanya Mira.
“Mmm... apa cocok denganmu? Walau gaya hidupmu tidak mewah, kamu kaya, banyak perbedaan, kan?”
Mira mengangkat bahu. “Nggak kerasa tuh. Aoi asyik-asyik aja orangnya. Aku toh bukan tipe orang yang senang menghamburkan uang. Lagi pula, Aoi mandiri. Pada usia semuda kita, dia sudah punya penghasilan sendiri.”
“Tapi katamu, ayahnya galak?”
“Memang iya sih, tapi nggak masalah juga. Yang penting buatku, Aoi baik dan otaknya pintar. Aku selalu mengagumi cowok pintar.”
“Aiiih... yang lagi jatuh cinta!” Kelly geleng-geleng geli. “Akhirnya kamu mengalami sendiri rasanya jatuh cinta. Semoga kamu nggak ngerasain patah hati jugaseperti aku.” Kelly menggigit bibir. Rupanya dia masih terkenang penolakan Riku.
“Hai, Mira... Hai, Kelly...” Seperti biasa Riku menunggu mereka setiap berangkat sekolah. “Kamu cerah sekali, Mir.”
Riku tersenyum pada Mira. Namun ada yang aneh dengan senyum Riku. Ya, Riku tahu Mira tengah jatuh cinta pada Aoi. Aoi sering cerita pada Riku tentang kedekatannya dengan Mira sekarang. Riku cemburu. Dia menyayangi Mira lebih dan sekadar sahabat. Dia ingin Mira jadi pacarnya.
Di gerbang sekolah ternyata ada yang menanti kedatangan mereka. Aoi bersender di pagar besi. Senyumnya mengembang begitu melihat Mira. Ya, tatapannya fokus pada Mira sebelum kemudian ia menyapa Kelly dan Riku.
Mira semakin berbunga-bunga. Ah, jatuh cinta memang indah!
***
Mira kembali bertandang ke rumah Aoi pada hari Sabtu. Biasanya Mira melewatkan akhir pekan di rumah Kelly.
Namun kini dia lebih suka memasak bersama Aoi. Mira senang Aoi dan ayahnya menyukai masakannya. Sebaliknya, Mira bahagia bisa menghabiskan waktu bersama cowok pujaannya.
“Tumben ayahmu belum pulang jam segini?” tanya Mira ketika sedang menggoreng udang.
“Jam kera Ayah nggak teratur. Kebetulan saja waktu itu Ayah pulang sore. Kerja jadi juru kamera TV sering sampai larut malam. Itu pun, sehabis kerja, kadang ayah masih hunting pemandangan bagus atau ngumpul dengan teman-temannya di bengkel fotografi.”
“Ayahmu hobi fotografi juga?”
“lya. Ayah sering memboroskan uangnya untuk hobi yang satu itu. Salah satunya untuk jalan-jalan mencari gambar bagus.”
“Oh!” Mira manggut-manggut. “Eh, kamu kok nggak pernah cerita tentang ibumu?”
Aoi diam sejenak. “Ibu berpisah dan Ayah waktu aku masih bayi. Ibu kuliah lagi di luar negeri atas biaya orangtuanya yang kaya raya. Pernikahan Ayah dan Ibu memang tidak direstui keluarga Ibu.”
“Oh, pantas ayahmu alergi sama orang kaya,” sambung Mira sambil tersenyum kecut.
“Oh, itu ceritanya lain. Sebelum menikah dengan Ibu, ayahku pernah tergila-gila pada seorang perempuan kaya raya. Mereka pacaran beberapa tahun. Ayah sangat mencintai perempuan itu. Tapi setelah lulus kuliah, perempuan itu mencampakkan Ayah dan berpaling pada cowok kaya. Sakit hati Ayah terbawa sampai Sekarang,” terang Aoi. “Padahal Ayah sudah menyiapkan tabungan untuk pernikahan mereka. Ayah stres berat. Hingga akhirnya Ayah bertemu dengan ibuku dan dalam waktu cepat mereka menikah. Tapi apa boleh buat, mereka berpisah juga. Ayah punya kehidupan aneh. Dia suka bepergian dalam waktu lama, berburu gambar bagus di hutan dan daerah pedalaman, bahkan pernah sampai ke luar negeri. Sebenarnya penghasilan Ayah lumayan, tapi uangnya habis untuk hobinya itu. Juga untuk anak-anak asuhnya...”
“Anak asuh?”
“Iya. Sejak kecil aku punya saudara-saudara asuh. Ayah penyumbang tetap di beberapa panti asuhan. Kami berusaha nggak egois, Mir. Bagi kami, hidup Sederhana seperti ini cukup.
Ada kelebihan uang kami sumbangkan untuk orang yang masih kekurangan.”
Mira mendesah, rnerasa tak enak hati rnendengar cerita Aoi. Walau sekarang sikap ayah Aoi sudah mencair, tetap saja Mira cemas ayah Aoi mendadak tidak menyukainya. Mira terdiam cukup lama sampai akhirnya dikagetkan kedatangan ayah Aoi.
“Eh, ada Mira di sini. Lagi masak apa, Mir?” sapa ayah Aoi.
“Udang goreng tepung, Oom.”
“Wow! Aromanya tercium dan luar. Tapi kayaknya Oom nggak belanja udang deh.” Ayah Aoi mengerutkan dahi.
“Tadi saya mampir ke supermarket sebelum ke sini.”
“Oh...” Ayah Aoi duduk di wang makan. Dia memperhatikan gerak-gerik Mira. Ekspresinya lagi-lagi seperti sedang mengingat-ingat sesuatu atau seseorang.
“Ayah mau minum apa?” tanya Aoi.
“Mmm... Mir, yang segar dan menghangatkan saat udara dingin begini apa ya?” Ayah Aoi malah bertanya pada Mira.
“Mmm, apa ya?” Mira berpikir sejenak. “Aha! Saya akan buatkan minuman hangat untuk Oom! Tunggu lima belas menit ya!”
Ayah Aoi menganggu-angguk sambil tersenyum samar. Lagi-lagi dia terlihat seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri atas sesuatu. Lima belas menit kemudian, saat Aoi menyiapkan
makan malam di meja, Mira menyajikan minuman istimewa untuk ayah Aoi.
“Ini terdiri dari...”
“Jahe, sereh, sedikit asam, madu, dan gula merah,” kata ayah Aoi memotong keterangan Mira.
Mira kaget, tak menyangka ayah Aoi tahu racikan minuman yang dibuatnya. Padahal seingat Mira, Mama bilang, minuman itu memakai resep khusus keluarga Mama.
Ayah Aoi mengambil sendok kecil untuk mencicipi minuman buatan Mira.
“Mmm... persis!” desis ayah Aoi sambil menatap Mira.
Mira duduk termangu. Dia heran, dan mana ayah Aoi tahu resep minuman keluarganya itu? Minuman itu kesukaan Mama dan Mama selalu membuat sendiri, tidak pemah minta tolong Mbak Nunuk. Aneh!
Ayah Aoi manyantap makan malam tanpa bicara Sepatah kata pun. Bahkan dia tidak mengomentari lagi udang tepung yang dibuat Mira. Aoi ikut diam. Yang terdengar hanya denting sendok dan pining. Tak ada yang bennisiatif memulai pembicaraan. Mira merasa tak nyaman dengan situasi tegang seperti itu.
Usai makan, saat Mira dan Aoi mencuci pining, ayah Aoi tetap bergeming di kursi makan, menikmati minuman hangatnya sambil melamun.
“Ayahmu kenapa?” bisik Mira.
“Nggak tahu,” jawab Aol, menggeleng.
“Abis ini aku Iangsung pulang aja ya.”
“Aku antar sampai halte.”
Mira mengangguk.
Usai mencuci piring dan membersihkan dapur, Mira pamit pada ayah Aoi. Lelaki itu tak menjawab, hanya mengibaskan tangan. Sikapnya kembali dingin, seperti pertama kali berjumpa Mira. Dengan perasaan tak keruan, Mira beringsut undur diri.
“Ayahmu kenapa?” tanya Mira lagi saat dia dan Aoi sudah di luar rumah.
“Entahlah.” Aoi mengangkat bahu. “Ayahku memang aneh.”
“Ada apa dengan minuman buatanku? Ayahmu menikmatinya sambil melamun. Sepertinya sejak kuberi minuman itu ayahmu jadi aneh.”
“Entahlah. Mungkin Ayah teringat seseorang. Aku juga nggak tahu, Mira.”
Mira mendesah sedih. “Sepertinya ayahmu betu-lbetul nggak menyukaiku. Padahal aku senang sekali tadi ayahmu menyapaku ramah, saat mencium udang masakanku. Ternyata sebentar saja ayahmu berubah.”
“Sudahlah, Mir. Sifat ayahku memang unik. Mmm... maaf ya. Aku mengantarmu sampal halte aja, nggak bisa mengajakmu jalan-jalan malam Minggu begini.”
Mira berhenti sambil menatap Aoi. “Kebersamaan kita di rumahmu itu lebih berarti daripada seribu kali jalan-jalan ke mal. Aku senang bersamamu, memasak, dan berbincang denganmu,” kata Mira sungguh-sungguh.
Aoi tersenyum lembut. Dia berdiri di hadapan Mira, lalu meraih kedua tangan cewek itu.
Tanpa Mira duga, Aoi mencium punggung tangan Mira dengan sepenuh hati. Jantung Mira berdegup kencang. Rasanya bagai terbang ke langit ketujuh. Selain itu, Mira juga rikuh. Mereka ada di gang sempit dan bagai sedang melakukan adegan film romantis. Wajah Mira merona merah. Senang, sekaligus malu. Aoi menatap wajah Mira yang kemerahan. “Terima kasih ya, Mir. Hidupku jadi berwarna karena kehadiranmu. Aku juga nggak merasa kesepian lagi karena ada kamu yang bisa kulamunkan. Kamu mengisi hidupku yang kering dengan senyum dan kecenaanmu. Kini hidupku betul-betul indah. Semua karena kamu, Mir.”
Mira tersenyum. “Aku juga sangat bahagia. Aku senang bisa bersamamu.”
Keduanya tersenyum, kemudian melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan. Mira merasa sedih saat sampai di halte. Itu berarti dia harus segera berpisah dan Aoi. Begitu pun Aoi, berat sekali melepas Mira pulang. Ingin rasanya Aoi memeluk Mira dan tak melepaskannya lagi.
“Mira...”
“Mmm... hati-hati, ya... ,“ kata Aoi akhirnya.
Mira mengangguk. Dengan berat hati dia melepas tangan Aoi saat bus datang. Dengan enggan Mira memasuki bus, duduk di sisi jendela, kemudian memandang Aoi yang melambaikan tangan ke arahnya. Entahlah, ada perasaan aneh merayapi hatinya. Perpisahan yang seharusnya menjadi peristiwa biasa kali itu terasa menyedihkan.
Sepanjang perjalanan pulang Mira melamun. Hatinya sedih karena tak sempat bermalam mingguan dengan Aoi dan ngobrol banyak hal.Begitu pun Aoi. Ia berjalan lesu pulang ke rumah. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak, entah apa.
***
Hingga larut malam Mira masih gelisah, tak mampu terpejam sekejap pun. Jantungnya berdebar kencang, sekalipun posisinya terbaring. Yang ada di otaknya hanya Aoi. Ingin rasanya dia berlari kembali ke rumah Aoi, memeluknya, dan mengatakan betapa dia sangat mencintai cowok itu. Yah, Mira yakin dia jatuh cinta pada Aoi.
Mira menghubungi nomor HP Aol, tapi HP Aol tidak aktif. Akhirnya Mira memberanikan diii menelepon rumah Aol.
“Halo...” Suara di seberang jelas suara ayah Aoi.
“Oom, Aoi sudah tidur atau belum?”
“Ini sudah hampir tengah malam!”
Telepon di seberang ditutup dengan kasar, Mira terperangah. Dia menyesal teiah bertindak bodoh.
Aduh! Mengapa aku nekat nelepon Aoi ya? Ayah Aoi pasti marah besar! Duh, apa yang salah sih dengan sore tadi? Kok ayah Aoi bisa berubah seperti itu? Duh... bagaimana dong? Aku mengacaukan segalanya, keluh Mira. Dia membanting tubuh ke ranjang, memeluk guling, dan mulal menangis. Hatinya kesal dan semakin gelisah.
Mira baru pulas setelah jam dua dini hari. Padahal pagi-pagi sekali Mira janji menjemput Mama di bandara. Sekarang jelas tidak mungkin. Mira bangun kesiangan. Begitu melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Mira takut mamanya marah padanya. Buru-buru dia mandi. Dia tidak sarapan karena nggak keburu. Mama pasti sedang menunggu di bandara sambil ngomel-ngomel. Mira turun ke ruang makan untuk pamit pada Mbak Nunuk. Namun, ternyata mamanya sudah duduk manis di ruang makan sambil membaca koran.
“Mama!” pekik Mira.
“Mmm, tumben kamu malas? Matahari sudah tinggi baru bangun, sampai nggak menjemput Mama di bandara,” tegur Mama sambil menurunkan koran. Diageleng-geleng memandang anaknya.
Mira meringis. “Maaf, Ma. Semalam Mira belajar sampal larut malam,” katanya berbohong.
“Ya sudah. Sekarang kita sarapan dulu yuk!” ajak Mama. “Mbak Nunuk bikin telur dadar kesukaanmu nih.”
Mira menghela napas lega. Tumben, mamanya nggak marah-marah seperti biasa. Sebetulnya Mira heran dengan kebiasaan mamanya marah-marah di rumah. Emosi Mama berada pada posisi tegangan tinggi melulu. Mama tak pernah menghabiskan waktu di rumah untuk santai.
“Kapan Papa pulang, Ma?”
“Wah, Mama juga belum tahu. Mungkin Selasa. Bagaimana sekolahmu, Mir? Tidak ada kesulitan, kan?”
“Mmm... menyenangkan kok, Ma.” Mira tersenyum.
Mendadak sosok Aoi menghiasi pikirannya. Ya, Aoi yang membuat sekolah menjadi sangat menyenangkan baginya kini.
Mama menatap Mira curiga. “Menyenangkan?”
Mira menelan ludah. Glek. Salah jawab deh!
“Maksud Mira... ngg... penuh tantangan! Ya, semua siswanya pintar, jadi Mira harus menyiapkan diri untuk bersaing,” ralat Mira sambil menunjuk kepala.
Mama tersenyuni samar, kemudian meneruskan sarapan.
Mira menghela napas lega. Untunglah Mama tak memperpanjang. Jantung Mira sempat melompat. Dia takut mamanya tahu dirinya sedang jatuh cinta. Bisa marah besar deh Mama, lalu Mama bakal tinggal lama nih untuk mengawasi semua gerak-gerik Mira.
Bisa jadi Mama ngotot mengantar dan inenjemput Mira sekolah. Mira tak akan leluasa bergerak bebas, apalagi untuk main bersama Aoi.
“Ma, Mira boleh nggak sore nanti main ke rumah teman?”
“Siapa? Kelly?”
“Bukan, teman cowok. Dia ketua OSIS, ada beberapa hal yang ingin Mira bicarakan dengannya.”
Ups. Mira langsung menutup mulut. Kenapa dia kelepasan ngomong mau ke rumah cowok sih?
“Orangtuanya kerja apa?” tanya Mama menyelidik.
“Mmm...” Mira bingung mau menjawab apa.
“Dan kelas atas seperti kita?” lanjut Mama tanpa menunggu Mira menjawab pertanyaannya yang pertama.
“Mmm...” Sekarang Mira garuk-garuk kepala.
“Kalau nggak, nggak usah. Jangan bergaul sama kaum bawah. Hidupmu akan susah. Bagaimanapun uang tetap berperan besar dalam menciptakan kebahagiaan.Makanya kamu sekolah yang pintar, supaya kamu bisa kuliah di luar negeri dan kelak jadi orang sukses.”
Mira menatap mamanya dengan sedih. “Ma... Mama kok gitu sih? Mira ingin bergaul dengan semua orang tanpa membedakan status sosialnya, Ma.”
“Bergaul boleh. Tapi ingat, kamu tidak boleh jatuh cinta pada cowok yang tidak jelas status sosialnya. Tidak baik buat masa depanmu!”
Mira mematung, nanar menatap Mama yang masih asyik sarapan sambil niembaca koran. Kata-kata yang meluncur dengan nada datar dan mulut mamanya begitu menohok hati Mira.
Mama mendongak, menatap Mira. “Kok malah melamun? SI ketua OSIS apamu? Bukan pacarrnu, kan?”
Kali ini Mama menatap Mira dengan penuh selidik, rnembuat Mira salah tingkah.
“Dia hanya teman kok,” jawab Mira lirih.
Mamanya menatapnya tajam. “Benar?”
Mira mengangguk.
“Tapi matamu mengatakan yang sebaliknya. Sore nanti Mama akan ajak kamu belanja. Kamu boleh membeli apa saja yang kamu inginkan. Sekarang Mama mauistirahat sebentar, lalu ke salon. Mau ikut?”
Mira melipat wajah. Mamanya selalu mengimingi minginya barang mewah. Mira sudah hafal hal itu dan dia tidak tertarik. Tapi Mama juga pantang ditolak. Mira harus selalu menuruti kemauannya, bahkan dalam hal memberi hadiah pun, Mira dipaksa menerimanya. Tapi kali mi dada Mira sesak karena mengingat Aoi. Seandainya Mama tahu keadaan Aoi. Jika saja Mama melihat rumah Aoi. Kalau Mama kenal ayah Aoi. Sudah
pasti...ya, sudah pasti hubungannya dengan Aoi akan ditentang habis-habisan.
“Gimana? Mau ikut ke salon?” desak Mama.
“Nggak, Ma,” sahut Mira, kemudian berjalan Setengah berlari naik ke kamarnya. Gadis manis itu melempar tubuh ke kasur dan menangis sedih.
Ternyata jatuh cinta rasanya sangat nggak enak. Hati selalu gelisah, rindu, dan ingin bertemu orang yang dicintai. Kalau jatuh cinta rasanya nggak enak begini!, kenapa semua orang mau mengalaminya? Jatuh cinta sungguh membuatku aneh, tertawa sendiri, melamun, berkhayal, dan jantungku selalu berdebar. Aku sulit tidur dan susah makan. Aku tiba-tiba menjadi pemalas. Auhhh! Begini ya rasanya jatuh cinta. Lantas, apakah Aoi juga mengalaminya? Oh God, aku bisa gila kalau Aoi nggak mencintaiku.
Mira menuliskan rasa hatinya dalarn buku biru. Dia hanya bisa menulis dan menulis. Dia tak mau berbagi pada siapa pun saat itu, bahkan pada Kelly sekalipun.
Mira kemudian duduk di balkon kamar, mendengarkan lagu First Love sambil tersenyum-senyum sendini. Mira merasa link lagu itu persis dengan yang dialaminya saat itu. Seorang gadis yang sedang jatuh cinta, tingkahnya mendadak aneh sehingga semua orang dapat melihat perubahannya. Sepanjang hari hanya melamun, namun malu untuk menceritakannya.
Mira tersenyum sendiri. Mmm... aku nggak sabar menanti han esok untuk menyatakan cintaku pada Aoi. Ya ampun, Aoi, aku harap kamu juga merasakan apa yangkurasakan.
“Mira!” panggil Mama dan lantai bawah. “Mau ikut ke salon nggak? Kalau mau, buruan slap-slap!”
“Nggak, Ma!” seru Mira kesal karena lamunan indahnya terputus begitu saja.
Ya, untuk saat ini Mira tidak menginginkan apa pun.
Dia hanya ingin mengkhayalkan Aoi. Rasanya mengasyikkan merangkai cerita tentang kedekatan mereka, walaupun cuma di pikiran.
Mira tersenyum. Dia teringat saat Kelly jatuh cinta pada Riku. Mira menertawakan kekonyolan Kelly, namun sekarang Mira kena batunya.
Ah, mumpung Mama ke salon, kenapa aku nggak ke rumah Aoi saja? pikir Mira.
SEORANG bapak berumur enam puluhan menginjak kaki Mira sehingga Mira yang saat itu hanya memakai sandal meringis. Namun sebelum bapak tersebut minta maaf, Mira sudah tersenyum terlebih dahulu padanya. ltulah hebatnya orang jatuh cinta. Rasa sakit terkalahkan rasa bahagia di hati yang begitu indah.
Siang itu Mira sedang dalam perjalanan ke rumah Aoi. Udara panas dan keharusan berdini berdesakan di bus yang penuh sesak tidak dipedulikannya. Mira rela berkeringat dan merasakan ketidaknyamanan sesaat demi bertemu pujaan hatinya. Jantung Mira semakin berdebar begitu mendekati rumah Aoi. Perasaannya tak keruan, antara takut bertemu ayah Aoi dan keinginan yang kuat untuk berjumpa Aoi.
“Aoi!” panggil Mira sambil mengetuk pintu rumah Aoi.
Sunyi. Tak ada sahutan dan dalam.
“Aoi!” seru Mira sambil mengintip dari sela-sela jendela kaca. Di dalam terlihat gelap.
Mira mendesah, kemudian duduk di bangku teras untuk melepas lelah. Aoi tidak di rumah. Bodohnya Mira, karena tak menghubungi Aoi Iebih dahulu sebelum bertandang. Oh iya... HP! Mira mengeluarkan HP, lalu mulal menghubungi nomor Aoi. Berkali-kali Mira mencoba menelepon Aoi, tapi nomor tersebut tak bisa dihubungi.
Aoi... kamu di mana? Aku kangen sekali, gumam Mira sambil menatap langit yang baru disadarinya sangat mendung.
Mira mempemiainkan HP di tangannya. Dia gelisah tiada tara. Dadanya sesak oleh rindu dan kecewa. Seandainya sedang berada di dalam kamarnya, mungkin Mira sudah menangis sesenggukan. Apa boleh buat, cairan bening di kelopak mata harus ditahan sekuatnya. Dia berada di halaman rumah orang. Malu kalau sampai ada yang melihatnya menangis di situ.
Tiba-tiba bulir-bulir air turun dari langit. Pertama-tama berupa gerimis, namun menderas dengan cepat. Mira terjebak di teras Aoi. Dia tak mungkin pulang karena tidak membawa payung. Terlebih hujan turun disertai angin yang bertiup kencang. Mira sampai harus berdiri merapat pada pintu agar tidak terkena semburan air yang terbawa angin.
Aoi, pulang dong, keluh Mira sambil menggosok-gosok kedua lengan yang terasa dingin. Masih untung dia memakai celana panjang sehingga kakinya terasa lebih hangat.
Duh, kenapa harus hujan sih? Tadi kan matahari terik sekali, keluh Mira seraya mendesah sedih. Hujan tak kunjung berhenti. Berkali-kali Mira melihat arlojinya. Sepuluh menit, setengah jam, satu jam, satu jam lima belas menit...
Kalau Mama pulang dan tahu aku nggak ada di rumah, bagaimana? Mira kian gelisah. Meski kedinginan dan dihantui rasa takut pada mamanya, Mira tetap tak menyesali pilihannya untuk pergi ke rumah Aoi. Mira bahkan bertekad akan menunggu sampai Aoi pulang. Mira berjanji akan melupakan penderitaannya slang itu bila dia berhasil bertemu Aoi dan melihat wajah tenang serta menatap mata teduhnya. Mira tersenyum. Membayangkan wajah Aoi menghibur hatinya. Ah, cinta memang aneh!
Hujan tetap deras, teras Aoi mulal digenangi air. Mira duduk kembali di bangku sambil mengangkat kedua kaki. Dia tak menyangka teras tersebut bisa banjir. Ternyata teras Aoi Iebih rendah daripada jalanan. Air mulal masuk, meski dihalangi tanggul seadanya. Mira termenung. Dia duduk sambil memeluk lutut. Hatinya berharap Aoi atau ayahnya segera pulang. Berkali-kali Mira mencoba menghubungi Aol lagi, namun teleponnya tak pemah tersambung.
Kira-kira Aoi ke mana ya? Ke pasar? Ke mal? Mengunjungi saudara? Mengapa belum pulang juga? Ah, Mira, kenapa kamu jadi bodoh? Ini kan hujan. Aoi pasti menunda pulang! Huh... Mira mendengus kesal.
Mira mencoba menghibur diri dengan mendengarkan musik dan HP. Namun, yang terjadi Mira justru menangis saat musik syahdu menyentuh hatinya. Lama Mira berurai air mata sambil terisak-isak karena terh anyut lagu-lagu Lawas bertema cinta. Uh... Aoi, pulang dan hibur aku dong! batin Mira merengek.
Tuuut...!
Hp Mira mati karena kehabisan baterai. Mira. terpaku. Dia tak tahu harus bagaimana lagi menghibur dirinya sendiri.
Aku benci jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku begitu bodoh. Mengapa aku harus ke rumah Aoi? Mengapa harus mau menunggu begitu lama dalam kedinginan dan tapar? Jatuh cinta rnembuatku begitu tolol! Mira merutuki kesialannya. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain duduk dan menunggu hujan reda.
Hujan baru berhenti menjelang sore. Mira betul-betul lapar dan haus. Dia nekat menurunkan kakinya yang pegal ke dalam air keruh yang menggenang di teras. Lalu kedua kakinya diayun-ayunkan.
Kalau pulang sekarang, nanggung. Sebentar lagi pasti Aoi pulang. Ya, Aoi akan segera pulang. Aku harus sabar menunggu dan nggak boleh putus asa, Mira menguatkan hati. Huh, kenapa sih nggak ada penjual makanan yang lewat? Aku lapar sekali. Ah, aku memang bodoh. Jalanan tergenang banjir begini, siapa yang mau jualan? Sabaaar. Aoi pasti dalam perjalanan pulang, lagi-lagi Mira menghibur diri.
Mira mendesah sedih. Kakinya terus bermain air, tak peduli ujung-ujung jarinya mulai keriput. Akhirnya hati Mira sampal
juga pada titik yang menunjukkan perjuangannya menunggu Aoi sia-sia belaka. Mira menyerah dan memutuskan pulang. Petang menjelang. Malam siap memayungi Jakarta dengan kegetapan. Mira menggigil kedinginan. Sebelum meninggalkan rumah Aoi, dia menuliskan sebuah pesan, lalu meletakkannya di bangku. Kemudian Mira melangkah pelan, menerjang banjir yang masih menggenangi jalan. Hatinya pilu. Air mata deras mengalir di pipi. Beberapa kali Mira hampir jatuh. Tubuhnya lemah dan sempoyongan karena lapar. Dia berhasil sampal di pinggir jalan raya, namun sama sekali tidak berpapasan dengan Aoi di gang. Pupus sudah harapannya bertemu Aoi saat itu. Mira mencegat taksi. Dia meringkuk di kursi belakang sambil terus menangis dan menggigil.
“Saya antar Mbak ke dokter saja ya?” Sopir taksi terlihat cemas. Berkali-kali dia melihat Mira dan kaca spion.
“Tidak usah, Pak. Terima kasih,” balas Mira pelan.
“Mbak yakin baik-baik saja?”
“Iya. Saya cuma kedinginan. Tolong kecilkan AC-nya.” Sopir taksi menuruti permintaan penumpangnya. Kalau bisa dia ingin memacu taksinya kencang, tapi jalanan macet. Tak ada yang bisa diperbuat. Mira mencoba bertahan. Dia tak mau kalah oleh rasa dingin dan lapar. Mira meyakinkan din sendiri bahwa dia baik-baik saja, hanya hatinya yang sakit. Dia memb ayangkan pengungsi korban bencana yang jauh Iebih menderita. Kehilangan keluarga, kehilangan harta, dan tak ada yang bisa dimakan. Tubuh Mira menjadi Iebih hangat saat membayangkan betapa beruntungnya dia karena tak kehilangan apa pun. Bahkan, Mira masih dianugerahi perasaan cinta.
Begitu tiba di rumah, Mira disambut wajah cemas Mama dan Mbak Nunuk. Belum sernpat menjawab satu pertanyaan pun, Mira pingsan.
“Mira!” seru Mama kaget. Segera ía menangkap tubuh Mira yang basah kuyup.
Mbak Nunuk menangis melihat Mira yang ambruk bagai pohon layu diterjang angin. Berdua Mama, Mbak Nunuk membopong tubuh ningkih Mira menuju sofa.
Mama mengganti baju Mira, melap dengan handuk bersih, dan menghangatkan tubuhnya dengan minyak kayu putih. Dokter keluarga segera dipanggil.
Dokter bilang, Mira hanya kedinginan dan akan segera pulih. Mama sampai geleng-geleng. Dia begitu ingin menanyai Mira kenapa bisa seperti itu, tapi masih belum tega melihat kondisi lemah anaknya.
Begitu Mira siuman, Mbak Nunuk senang bukan main. Dia memijiti tangan Mira. Melihat itu, Mira tersenyum haru.
“Mama mana, Mbak?” tanya Mira.
“Sedang makan malam dengan Dokter Awan. Non kenapa bisa sampai kelaparan sih? Non kan bawa uang. Kenapa nggak jajan?”
Mira menghela napas panjang. Dadanya kembali sesak dan matanya berkaca-kaca. Namun dia tak ingin menangis lagi. Mbak Nunuk menatapnya, menunggu jawaban dan mulut Mira. “Mama Non tadi khawatir sekali. HP Non nggak bisa dihubungi.
Mbak Kelly dan Mas Riku juga nggak tahu Non pergi ke mana.”
“Sudahlah, Mbak. Nggak penting lagi sekarang.”
“Non, ini Jakarta. Mbak khawatir Non diculik. Lain kali kalau pergi HP-nya diaktifkan. Hampir saja tadi mama Non lapor polisi saking cemasnya.”
Mira termenung.
Tiba-tiba Mama memasuki kamar dengan wajah datar, kemudian duduk di tepi ranjang. “Mir, ke mana kamu seharian? Mama hampir mati ketakutan. Mama takut kamu kenapa-napa. Tolong jawab Mama sejujurnya. Mama janji nggak akan marah,” pinta mamanya.
Mira memiringkan tubuh, kemudian menarik selimut hingga menutup kepala. Mira menangis tertahan. Dia belum siap berbicara pada mamanya. Mira tahu mamanya pasti marah. Nggak mungkin nggak marah kalau tahu Mira jadi seperti itu gara-gara seorang cowok.
Mama mendesah panjang. “Mama janji nggak akan marah, asal kamu bercerita jujur. Kamu ke mana tadi?”
Tubuh Mira berguncang. Tangisnya meledak. Dia tetap menutup mulut rapat-rapat karena betul-betul tidak mau membagi kisahnya tentang Aoi.
Mama menyerah, dan tidak lagi membujuk Mira bicara. Dia meninggalkan Mira dan Mbak Nunuk yang ikut menangis.
Mbak Nunuk tak pernah tahan melihat Mira menangis. Apalagi kali ini Mira menangis begitu hebat.
“Mira mau sendirian, Mbak!” pinta Mira dengan suara serak.
“Tapi Non makan dulu ya?”
“Mira mau bobo.”
“Tapi, Non...”
“Tinggalkan Mira sekarang, Mbak. Mira kepingin sendiri,” kali itu Mira betul-betul memohon.
Mbak Nunuk tak berdaya. Nasi dan lauk di meja samping ranjang ditutupnya dengan tudung saji kecil. “Nanti makan ya, Non. Teh angetnya juga diminum biar Non kuat kembali. Mbak keluar dulu. Kalau ada apa-apa, panggil Mbak aja. Ntar Mbak ke sini.”
Mira tidak menjawab. Dia semakin membenamkan kepala ke bawah selimut dan kembali menangis.
* * *
Pagi-pagi sekali, meski tubuhnya masih panas dan suaranya serak, Mira nekat berangkat ke sekolah diantar Pak Bardi, sopir keluarga Mira. Mama dan Mbak Nunuk tak bisa menahan Mira. Gadis manis itu tetap keukeuh menganggap dirinya baik-baik
saja. Mira memaksakan diri ke sekolah untuk bertemu Aoi. Dia sampal lupa menjemput Kelly seperti biasanya.
“Nanti saya jemput ya, Non,” kata pak Bardi saat Mira turun dan mobil.
“lya, terima kasih, Pak,” balas Mira, kemudian berlari tak sabar untuk menemui Aoi.
Aoi belum datang, Mira menunggu di depan kelas Aoi dengan sabar, meski terselip kegelisahan di hatinya. “Mira!”
Sebuah suara mengagetkan Mira. Kelly berdiri di hadapan Mira. Wajahnya cemas campur dongkol.
“Ya ampun, Mira! Kemarin mamamu lebih dan sepuluh kali meneleponku, nanyain kamu. Kamu ke mana saja?”
“Nanti aku cerita. Sekarang aku menunggu Aoi.”
“Memangnya Aoi kenapa?”
Mira mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu untuk apa menunggu Aoi: ingin menyatakan perasaannya atau ingin marah karena sampal pagi ini Aoi tidak juga menghubunginya. Padahal kemarin Mira meninggalkan pesan di bangku teras Aoi. Seharusnya Aoi melihat pesan Mira ketika pulang ke rumah.
“Mir, kok kamu pucat?” kata Kelly sambil meletakkan tangan di dahi Mira. “Ya ampun, kamu panas sekali! Kamu pulang saja deh, Mir. Aku teleponkan sopirmu ya? Atau mau langsung pulang sekarang? Aku antar pakal taksi.”
Mira menggeleng. “Aku mau ketemu Aoi dulu.”
“Hei, kalian berdua kok ada di sini?” Riku datang dan menyapa. “Aku menunggu kalian di jalan, kok nggak lewat-lewat. Temyata sudah sampai di sini. Ada apa? Mau bertemu siapa di kelasku?”
Mira dan Kelly tidak menjawab. Dua cewek itu terlihat bingung. Riku merasa ada yang tidak beres saat dia menatap Mira.
“Mira? Kamu pucat banget! Oh iya, ke mana seharian kemarin? Kami ikut cemas karena nggak mendengar kabarmu.”
Mira hanya mengangkat bahu dengan lesu. Riku menatap Kelly dengan pandangan bertanya. Kelly menggeleng. Dia juga tidak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu. “Mira menunggu Aoi,” sahut Kelly.
“Biasanya Aoi sudah datang jam segini,” kata Riku, kemudian melongok ke kelas. “Aneh. Biasanya dia datang paling awal Iho. Sungguh!”
Riku kemudian mengambil HP dan dalam tas. Dia beru saha menghubungi Aoi. “Aneh. HP.nya nggak aktif tuh! Memangnya ada masalah apa antara kamu dengan Aoi, Mir?”
Mira menggeleng. Matanya yang kemerahan terus menatap lorong depan kelas, berharap Aoi muncul dari kejauhan.
Kelly mendesah. Dia menemani sahabatnya itu menanti Aoi. Namun hingga bel masuk berbunyl, Aoi tak juga muncul.
“Mir, aku masuk kelas dulu, ya. Mungkmn Aoi terlambat. Atau kalau hari ini dia nggak datang, nanti sepulang sekolah aku antar kamu ke rumahnya,” kata Riku sebelum masuk kelas.
“lya... terima kasih,” balas Mira.
Mira berjalan lunglai ke kelasnya bagai macan kalah tarung. Macan yang luka parah dan berdarah-darah, hingga tak mampu merasakan sakitnya lagi. Di dalam kelas Mira bengong kayak macan ompong.
“Sudahlah, Mir. Aku antar kamu pulang, ya?” Kelly prihatin melihat Mira. Wajah Mira semakin pucat.
Akhirnya Mira mengangguk. Tubuhnya semakin lemah dan kepalanya berat. Mira butuh tidur. Guru mengizinkan Mira pulang. Namun sebelum pulang, Mira sengaja melewati kelas Aoi. Mira melongok ke kelas Aoi. Ternyata orang yang dicarinya ada di dalam kelas!
“Aoi,” gumam Mira seraya menuju pintu kelas Aoi.
“Mir, mau ngapain?” bisik Kelly cemas.
Mira nekat mengetuk pintu kelas Aoi. Lalu Ia minta izin pada guru kelas Aoi, agar Aoi boleh keluar kelas sebentar. Mira berbohong pada bu guru bahwa ada tugas OSIS yang harus dibicarakan dengan Aoi segera.
Aoi keluar kelas dengan wajah tak ramah. “Ada apa ya? “tanyanya dengan nada datar.
“Kita bicara di ruang OSIS, ya?” pinta Mira memelas.
Tanpa menjawab, Aoi berjalan mendahulul menuju ruang OSIS, dilkuti Mira dan Kelly. Tiba di ruang OSIS, Kelly duduk di bangku kayu di koridor, sementara Mira dan Aoi masuk ke ruangan.
“Kamu menerima pesanku kemarin?”
“Pesan? Nggak tuh!” balas Aoi tak bersahabat. Sikapnya mendadak kembali seperti dulu waktu mereka baru kenal.
“Oh...,” desah Mira kecewa. Melihat sikap Aoi, rasanya Mira tak sanggup lagi bicara. Tubuhnya terasa lemas dan demamnya nieninggi.
Aoi diam saja, tak menanyakan keadaan Mira yang tampak payah. Aoi bahkan tak menatap Mira sedikit pun. Dia memandangi deretan poster di dinding.
“Seharian kemarin aku menunggumu dalam hujan. Dingin, lapar, dan kakiku terendam banjir. Kamu ke mana saja, Aoi? Aku mencoba menghubungimu, tapi HP-mu nggak aktif.”
“Ya salahmu sendiri!” desis Aoi.
Mira tak percaya Aoi mengatakan hal itu. Dada Mira begitu sesak, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya kelu. Ada apa dengan Aoi? Mira tak habis pikir. Hanya dalam waktu kurang dan 24 jam, sikap cowok itu berubah 180 derajat.
Mira menelan ludah. Matanya basah saat Ia menatap Aoi dengan hati hancur berkeping-keping. Namun, Aoi terus menatap ke dinding, tak mau berpaling untuk memandang wajah Mira barang sebentar.
“Aoi... aku sayang banget sama kamu. Kemarin aku datang untuk mengatakan betapa aku menyukaimu,” kata Mira lemah.
Aoi tetap membeku. Mira berdiri susah payah sambil berpegangan pada meja. Ia melangkah sempoyongan
meninggalkan Aoi. Kelly menyambutnya di luar, kemudian membantu Mira berjalan.
Aoi membeku di tempatnya, tatapan matanya kosong, namun matanya basah oleh air mata. Aku juga sangat menyayangimu, Mira, gumam Aoi pilu.
MIRA tergolek lemah di rumah sakit. Ia terserang tifus. Tapi bagi Mira, yang paling sakit adalah hatin ya, bukan tubuhnya. Dia terus berurai air mata. Namun gadis itu tak mau berbicara pada siapa pun untuk men gurangi bebannya. Tiap kali ditanya, Mira hanya men angis. Bahkan saat Kelly menjenguknya, belum sempat sahabatnya itu bertanya, Mira sudah menangis. Mama Mira sangat mengkhawatirkan kondisi putri tunggalnya itu. Papa Mira juga tak bisa membujuk anakn ya untuk bercerita. Mira seolah menyimpan sendiri isi hatinya yang meluap-luap, hingga meluber dalam bentuk air mata.
“Ini tentang Aoi, kan? Kemarin kamu hampir pingsan saat keluar ruang OSIS. Aku akan menemui Aoi sekarang juga,” kata Kelly geram.
“Tolong tanyakan kenapa dia seperti memusuhiku kemarin,” pinta Mira memelas.
“Pasti. Aku akan mengorek apa pun yang bisa ku apat darinya,” balas Kelly sebelum pergi.
Di depan rumah sakit Kelly bertemu Riku yang hendak menjenguk Mira. Kelly menceritakan keadaan Mira.
“Mmm... kalau gitu aku antar kamu ke rumah Aoi saja. Mungkin aku bisa membujuk Aoi bicara,” kata Riku.
Kelly tersenyum senang. Terus terang, sebenarnya Kelly tidak suka harus ke rumah Aoi seorang din. Tapi demi sahabatnya, dia rela. Untung ada Riku yang menemaninya. Mereka berdua naik taksi menuju rumah Aoi.
Kelly tak habis pikir, mengapa Mira, si tegar dan tombol itu, tiba-tiba bisa menjadi sangat lemah dan sensitif.
“Menurutmu apa yang terjadi?” tanya Riku penasaran.
“Entahlah. Kemarin mereka bicara dl ruang OSIS hanya sebentar. Saat keluar ruangan, Mira tampak begitu terpukul. Dia terus menangis sampai tiba di rumahnya.”
Riku mendesah panjang. “Kemarin Aoi bahkan tak masuk kelas lagi setelah bicara dengan Mira. Aoi cuma mengambil tas saat istirahat pertama, lalu kabur entah ke mana.”
“Ada apa kira-kira ya?”
“Kita akan segera tahu. Nanti, saat kita bertemu Aoi.”
Aoi sedang membantu ayahnya mengedit foto sewaktu Kelly dan Riku datang. Riku mengajak Aoi ke luar supaya mereka leluasa mengobrol. Aoi terlihat salah tingkah. Dia tahu teman-temanya datang karena Mira.
“Mira diopname,” kata Kelly. “Apa yang terjadi, Aoi? Kamu pasti tahu kenapa Mira tiba-tiba ambruk begitu.”
“Sungguh aku tidak tahu,” sahut Aoi, tak berani menatap mata Kelly.
“Kamu bohong. Kamu tahu semuanya!”
Aoi mendesah. “Aku nggak tahu, Kelly. Kamulah sahabat dekatnya. Seharusnya kamu tahu apa yang terjadi dengannya.”
“Tapi akhir-akhir ini kalian sangat dekat. Aku rasa Mira jatuh cinta sama kamu. Apakah kamu menolak cintanya?” tanya Kelly tegas.
“Kamu menolak cinta Mira?” Riku ikutan bertanya dengan nada bingung.
“Mira nggak ngomong apa-apa padaku. Jadi aku nggak tahu apa masalahnya sekarang,” jawab Aoi.
“Kamu tahu! Kamu tahu, Aoi! Kenapa kamu bohong?” teriak Kelly kehilangan kendali. Dia gemas melihat sikap Aoi.
Ayah Aoi keluar karena suara ribut-ribut itu. “Ada apa ini?”
“Oom!” seru Kelly. “Mira sakit. Sekarang dia di rumah sakit. Saya yakin Aoi tahu apa yang terjadi pada Mira! Tapi dia nggak mau mengatakannya!” Air mata Kelly mulai mengalir.
Ayah Aoi mendesah. Dia menatap sedih putra semata wayangnya. Sementara itu Aoi menunduk dalam-dalam. Hatinya pilu.
“Minggu depan Aoi ikut ibu kandungnya. Dia akan meneruskan sekolah di luar negeri,” terang ayah Aoi.
Kelly dan Riku terpana.
Aoi bergegas masuk. Terdengar suara pintu dibanting dan dalam rumah. Kelly dan Riku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Sepertinya Aoi marah.
“Mira kehilangan Aoi. Apakah karena itu dia sakit?”
“Entahlah,” balas ayah Aoi sedih, kemudian berbalik dan masuk ke rumah, meninggalkan Kelly dan Riku di teras.
Riku dan Kelly bengong. Mereka merasa ditolak sehingga memutuskan pulang. Sepanjang jalan Kelly marah-marah. Menurut dia, sikap Aoi dan ayahnya san gat tidak bersahabat.
“Ada sesuatu yang terjadi pada Aoi dan Mira. Wajah Aoi sangat sedih. Dan ketika ayahnya bilang Aoi akan pergi jauh, wajah Aoi bukan hanya sedih, tapi bercampur kecewa. Dia marah dengan keadaan yang tak diinginkannya, lalu membanting pintu kamar. Kurasa Aoi juga terluka seperti Mira,” Riku menganalisis kejadian barusan dengan panjang lebar.
“Menurutmu begitu?”
“Ya, aku teman balk Aoi. Dia berhati lembut dan penyayang. Dia nggak mungkin menyakiti Mira kalau bukan keadaan yang memaksanya.”
Kelly mendesah sedih. “Mira begitu terluka. Tapi sebaiknya kita rahasiakan dulu kepergian Aoi ke luar negeri sampal Mira sehat.”
“lya. Sebaiknya dia nggak tahu Aoi akan pergi jauh. Kalau dia tahu, sakitnya bisa semakin parah.”
“Kita kembali ke rumah sakit sekarang?” tanya Kelly.
Riku mengangguk.
Mereka segera mencari taksi. Dalam perjalanan menuju rumah sakit kedua sahabat itu hanya membisu. Kisah Mira dan Aoi memenuhi benak mereka dan membangkitkan rasa iba.
AOI mengemasi beberapa barang ke dalam koper. Dia membuka buku hariannya, lalu mengeluarkan pesan dari Mira yang dia temukan hari Minggu lalu. Hatinya bagai tersayat ketika membuka kertas itu.
Aoi, aku menunggumu sepanjang hari. HP-mu nggak bisa kuhubungi. Aku bertekad menunggumu hingga kamu pulang, tapi aku menggigil kedinginan. Aku lapar sekali. Aku nggak mau membuatmu repot, maka kuberanikan diri pulang menerjang banjir. Aoi, kumohon, bila kamu telah membaca pesan ini, hubungi aku, ya. Mira.
Aoi kembali melipat kertas itu, kemudian menyelipkannya ke dalam buku harian. Sejenak dia mendesah.
“Memang sakit sekali, Nak. Tapi Ayah yakin seiring berjalannya waktu, kimu bisa melupakan Mira. Raihlah dulu masa depanmu. Mungkin kelak kalian bisa bersatu,” kata ayahnya yang telah berdiri di ambang pintu.
Dengan mata sembap Aoi menatap ayahnya. “Bolehkah Aoi mengucapkan salam terakhir pada Mira, Yah? Aoi ingin menjenguk Mira. Dia sakit karena Aoi.”
“Kalau kamu bertemu Mira dan melihat kesedihannya, kamu akan terikat dengannya dan semakin sulit melupakannya. Tapi Itu pilihanmu. Ayah tak akan melarangmu.”
Aoi mengangguk. “Aoi yakin bisa mengatasinya. Besok Aoi menjenguk Mira.”
***
Aoi bangun pagi-pagi sekali. Dia berencana masak. Hanya bubur, tapi tentu bukan sembarang bubur. Aoi memasak bubur dengan penuh cinta. Setiap membubuhkan bumbu, Aoi membarenginya dengan doa. Setiap mengaduk bubur yang mengepul di panci, Aoi menyertainya dengan harapan. Aoi berharap Mira segera sembuh, sehat, dan kembati ceria, walaupun Aoi mungkin takkan melihat wajah ceria Mira selepas Mira sembuh. Karena Aoi harus segera berangkat...
Aoi mendesah sedih. Sungguh dia sangat sedih.
Aoi memasukkan bubur ayam buatannya ke rantang kecil. Dia juga menata nugget jamur yang dibuatnya semalarn di rantang satunya. Selesai sudah. Dua rantang masakan sederhana namun spesial itu siap diantar untuk gadis yang sedang sakit. Aoi berharap Mira senang melihatnya datang dan mau menyantap masakan buatannya dengan lahap.
Aoi gugup sekali saat melangkah di lorong rumah sakit. Tangannya dingin, dan jantungnya bagai meloncat-loncat. Aoi sangat mencintai Mira. Pada Mira-lah Aoi merasakan jatuh cinta pertama kali.
Langkah kaki Aoi terhenti di depan pintu kamar tempat Mira dirawat. Pintu tidak tertutup rapat. Ada celah sehingga dia bisa mengintip. Di kamar ada seseorang yang tengah membujuk Mira makan. Aoi memastikan penglihatannya. Bukan, wanita itu bukan Mbak Nunuk. Wajahnya cantik dan penampilannya berkelas. Mama Mira? Ya, itu pasti dia. Wajahnya mirip Mira. Hanya saja, penampilannya begitu feminin dan rapi, beda dengan Mira yang tomboi dan sporty.
Tiba-tiba kebencian menerjang dada Aoi. Dia teringat cerita ayahnya tentang mama Mira. Waktu dia kembali ke rumah sehabis mengantar Mira menunggu bus pada Sabtu lalu, ayah Aoi berbagi rahasia, sekaligus ultimatum. Hal itulah yang membuat Aoi harus pergi meninggalkan Indonesia. Meninggalkan Mira. Ya, Aoi harus melupakan pujaan hatinya hanya gara-gara wanita yang telah melahirkan Mira.
Karena peristiwa pahit pada masa lalu, ayah Aoi nekat menghubungi ibu Aoi yang telah lama putus hubungan karena tinggal di luar negeri bersama keluarga barunya. Ayah memutuskan untuk menyerahkan Aoi pada ibunya. Padahal Aoi sudah lupa rupa ibunya. Dia tak bertemu ibunya sejak umur dua tahun. Sampai remaja sekarang ini dia tak pernah lagi berhubungan dengan ibunya. Kini, tiba-tiba saja Aoi harus tinggal bersama ibunya di tempat yang jauh dan asing.
Aoi berbalik. Dia tidak ingin bertemu mama Mira. Perasaannya sungguh tak keruan. Aoi rindu Mira, namun benci mama Mira. Apa boleh buat, Aoi memilih pulang. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Aoi meminta tolong perawat untuk menyerahkan masakan istimewa yang dibawanya kepada Mira.
Sementara itu mama Mira mulai kehilangan kesabaran karena Mira tidak mau makan.
“Mira, terserah apa maumu! Tapi kalau kamu terus-terusan begini, kamu bisa kurus kering dan menjadi gila!” kata mama Mira kesal sambil meletakkan piring di meja. Wajah wanita itu merah penuh amarah.
Tepat pada saat itu, seorang perawat datang membawa rantang. “Bu, ini tadi ada titipan dari teman Mira untuk Mira.”
“Oh, terima kasih,” sahut mama Mira sambil menerima rantang tersebut.
Mira mengenali rantang khas itu sehingga menjadi bersemangat. Dengan susah payah dia berusaha duduk.
Lehernya dipanjangkan untuk melongok isi rantang saat mamanya mulai membukanya. “Bubur ayam, dan... masakan apa ini?” gumam Mama. Hati Mira melonjak kegirangan. “Itu pasti nugget jamur. Sini, Ma, biar Mira makan!”
Mama Mira meletakkan rantang itu di meja di sisi Mira. Karena tidak ada mangkuk kosong, maka Mira tidak keberatan makan langsung dari rantang itu. Dengan lahap dia mulai memakan bubur ayam. Mamanya sampai terheran-heran.
Mira bahagia sekali. Sekarang dia tahu Aoi sayang padanya. Dia tahu Aoi peduli padanya, sampai-sampai mau bersusah payah memasak dan mengantarkan makanan untuk dirinya ke rumah sakit.
Tanpa Mira ketahul, Aoi sedang mengintipnya diam-diam dan balik pintu. Aoi tidak jadi pulang. Dia berbalik kembali ke depan kamar Mira. Kalau saja ada keberanian, ingin rasanya Aoi menyerbu masuk dan menyuapi Mira. Tapi tidak. Kaki Aoi seolah lumpuh. Dia hanya sanggup mengintip gadis yang dicintainya. Itu pun hanya sesaat, sekadar memastikan Mira menyukai masakannya, kemudian dia pergi.
Mira meletakkan rantang bubur yang sudah licin tandas. Kemudian, dia mencomot satu nugget jamur. Hmm... enak! Mira menikmatinya sambil membayangkan kesibukan Aoi saat membuatnya. Ah, saat-saat berdua di dapur bersama Aoi sungguh indah dikenang. Mira ingin cepat sembuh dan memasak kembali dl rumah Aoi. Mulut Mira seolah tak berhenti mengunyah. Habis nugget pertama, diambilnya nugget kedua dan dimakanya dengan semangat.
“Siapa yang mengirim makanan itu?” tanya Mama heran.
“Aoi, Ma!” sahut Mira. Namun buru-buru ia menutup mulut. Saking gembira dan enak makan, Mira sampai keceplosan.
“Aoi? Pesaingmu itu?” tanya Mama heran dengan dahi berkerut.
“Aoi... mmm... Aoi teman dekat Mira kok. Dia baik, Ma.”
Dahi Mama kian berkerut. “Anak mana sih dia?”
“Maksud Mama, anak siapa dan berapa banyak kekayaannya, bukan?” tanya Mira sinis. Entah mengapa, tiba-tiba timbul keberanian pada diri Mira untuk mendebat mamanya. “Aoi bukan orang kaya, tapi dia punya daya juang. Dia juga cerdas
dan kreatif. Ayahnya juru kamera televisi. Hidup mereka sederhana dan hemat agar mereka dapat menabung untuk berlibur ke daerah-daerah terpencil di Indonesia setiap tahun,” terang Mira bangga.
“Mmm... pasti hidup mereka berantakan.”
“Nggak, Ma. Mereka sangat bahagia,” sindir Mira.
“Huh!” dengus Mama. “Dulu Mama punya ternan seperti itu. Sukanya berlibur ke daerah pedalaman dan memotret. Aneh. Hidup kok nggak mikirin uang, tapi hanya memburu kepuasan dan kesenangan pribadi.”
Mira terkejut. “Mama pemah bergaul dengan orang macam itu? Bukannya Mama berteman dengan kalangan atas saja?”
Mama menghela napas panjang. Matanya menerawang. “Pemah. Bahkan selama kuliah Mama pacaran dengan orang macam itu,” ujamya Iirih. “Tapi, Mama pikir nggak ada gunanya buat Mama selain Mama jadi ikutan tampil saat dia menggelar pameran foto.” Nada suara Mama berubah sinis.
“Oh, ya? Mama nggak pemah bercerita soal pacaran dengan fotografer. Kok bisa sih? Bukannya selera Mama cowok kaya?” Mira terheran-heran. Dia tidak tahu Mama punya masa lalu bersama pria selain papanya.
“Itu kan masa lalu, Mir. Mama membukanya lagi hanya sekadar pengingat agar kamu melupakan Aoi. Aoi... siapa nama lengkap Aoi?” Dahi Mama lagi-lagi berkerut, seperti ada yang berkecamuk di otaknya. Ekspresi wajah Mama sulit ditebak.
“Aoi Lucios,” Mira menyebut nama panjang Aoi.
Mama terpaku. Wajahnya memucat. Sesaat wanita keras hati itu terlihat gugup.
Mira terpana. Dia mengamati raut wajah mamanya yang salah tingkah dan gelisah..
“Ma, Mama kenapa?”
Mama menggeleng gugup. “Ah, nggak. Mama...”
“Mama kenal Aoi? Ma, kita baru saja menjalin hubungan yang lebih baik antara ibu dan anak. Mira telah jujur tentang Aoi. Mira harap Mama juga jujur pada Mira,” Mira berkata tegas.
“Mmm...” Mama Mira terdiam, terlihat seperti menimbang-nimbang. Namun akhimya dia menyerah. Dia memilih bercerita tentang masa lalunya pada Mira. “Begini... ini sudah lama sekali kejadiannya. Teman yang Mama ceritakan tadi namanya Oscar. Dia punya sanggar fotografi yang diberi nama Aku Orang Indonesia, yang biasa disingkat AOl. Ya, persis seperti nama temanmu. Dan Mama rasa... Lucios adalah sebuah akronim.”
“Maksud Mama?” Mira mengernyit. “Oh... auw!” Mira memekik. Otaknya bekerja cepat hingga menemukan akronim yang dimaksud. “Lucios. Lu untuk Lulu dan Os untuk Oscar?” tebak Mira. Lulu adalah nama mama Mira. “Lalu, siapa Ci?”
Mama kembali gugup. “Tapi, jangan cerita sama Papa, ya?” bisik Mama.
Mira mengangguk. “Cl adalah cinta. Mama yang bikin akronim itu. Lucios adalah panggilan sayang Mama untuk Oscar.”
Mira pucat. “Jadi... Aoi putra mantan pacar Mama? Mama gadis kaya raya yang mencampakkan Oom Oscar setamat kuliah itu? Mama orang yang membuat Oom Oscar terpuruk bertahun-tahun hingga dia membenci orang kaya?” Mira nyerocos membabi buta. Air matanya berlinang.
Mama menatap Mira dengan pandangan heran. “Maksudmu?”
“Mira heran ketika Oom Oscar tahu resep minuman jahe sereh itu. Kini Mira mengerti mengapa Oom Oscar melamun saat menikmati minuman yang Mira buat. Sekaligus Mira paham, mengapa Oom Oscar sering menatap Mira dengan pandangan aneh. Karena Mira mengingatkan dirinya pada Mama!” seru Mira, nyaris histeris.
“Mir? Mira... Katakan pada Mama, benarkah ayah Aoi adalah Oscar?”
Mira menangis keras-keras. “Mira mengerti sekarang, mengapa Aoi nggak rnau menemui Mira lagi. Pasti ayahnya sudah tahu lama mengenai Mira, lalu melarang Aoi berhubungan dengan anak mantan pacarnya.”
Mama Mira sesenggukan. Ia merasa bersalah sekali pada Mira. Semua penderitaan Mira ternyata disebabkan perbuatannya, ibu kandungnya sendiri. Mama Mira menangis sedih. Bagaimana mungkin masa lalunya kembali muncul dan terkait dengan kisah cinta anaknya saat ini?
“Mira, tenanglah. Mungkin ada hal lain yang membuat Aoi tidak bisa menemuimu,” hibur Mama.
Mira terus menangis. “Mama! Oom Oscar nggak akan pernah menerima Mira lagi di rumahnya. Aoi mungkin nggak akan mau bertemu Mira lagi. Mira bisa hancur karena dibenci orang-orang yang Mira cintai!”
“Maafkan Mama, Mir.” Kata-kata Mama berhenti di situ. Dengan penuh iba, dia memandangi anak semata wayangnya yang terus menangis.
Mira tak peduli apa yang dikatakan mamanya. Dia menangis karena kasihan pada dirinya sendiri, juga pada ayah Aoi dan Aoi. Pasti Aoi terluka harus pura-pura membenci Mira. Ingin rasanya saat itu juga Mira berlari ke rumah Aoi, tapi tubuhnya belum mampu melakukannya.
Aoi... aku rindu kamu! jerit batin Mira dalam tangisnya.
PERAWATAN beberapa hari di rumah sakit memulihkan kesehatan Mira. Matanya kembali berbinar dan pipinya memerah segar. Hari itu ia boleh pulang. Kelly dan Riku ikut menjemput Mira.
Mira memang bertekad cepat sembuh agar bisa segera menemui Aoi dan ayahnya. Dia berjanji memasak makanan kesukaan ayah Aoi. Istirahat satu-dua hari di rumah membuat gadis itu sehat sempurna sehingga bisa kembali ke rutinitasnya, termasuk ke sekolah.
Mira sangat bersemangat menjalankan idenya. “Riku, Kelly, besok antar aku ke rumah Aoi, ya!” pinta Mira saat mereka sedang bersantai di tepi kolam renang rumah Mira. Dua sahabat itu sengaja datang menjenguk Mira.
Kelly dan Riku saling pandang. Wajah mereka resah.
“Mmm... tunggu tubuhmu benar-benar sehat dulu, Mir. Bukannya aku nggak mau mengantarmu, tapi aku nggak mau disalahkan mamamu kalau kamu sakit lagi,” Riku memberi alasan.
“lya, Mir. Kalau kamu sudah pulih seperti sediakala, aku akan mengantarmu ke mana pun kamu mau,” imbuh Kelly.
Mira tampak kecewa. Tapi dia bertekad tetap akan ke rumah Aoi besok pagi. Mira tak peduli badannya masih lemah. Bahkan, larangan Mama sekalipun akan dia terj ang. Toh besok mamanya sudah keluar kota lagi. Mira bebas!
“Mir, sebenamya apa yang terjadi padamu hari Minggu itu, saat kamu rnenghilang?” tanya Kelly takut-takut.
“Aku di rumah Aoi, terjebak hujan lebat. Aoi dan ayahnya nggak ada, jadi aku menunggunya sampai sore. Kakiku terendam banjir, tubuhku basah kuyup tersiram hujan. Aku pun harus menahan lapar karena nggak ada penjual makanan lewat.”
Kelly menatap Mira tak percaya. “Jadi, saat hujan yang luar biasa lebat itu, kamu sedang menunggu Aoi di teras rumahnya sampal malam?”
Mira mengangguk.
“Ya ampun!” Kelly geleng-geleng tak percaya.
Riku mendesah. Dia mencoba mengatasi perasaannya sendiri. Andai waktu itu Riku yang ditunggu Mira, alangkah bahagia dirinya. Seketika Rik merasa cemburu.
Yah, perasaan khusus Riku pada Mira belum berubah. Dia masih menyayangi Mira dan berharap gadis itu mau menjadi pacarnya.
“Jadi kamu demam dan akhimya terserang tifus gara-gara menunggu Aoi?” tanya Riku.
“lya,” Mira tersenyum kecut. “Tapi, setelah kejadian itu Aoi malah bersikap ketus waktu di sekolah. Padahal sengaja kubela-belain berangkat ke sekolah untuk menemuinya, meski aku demam dan pusing tak terkira.”
Riku menelan ludah kecewa. “Kamu sangat mencintai Aoi, ya?”
“lya,” jawab Mira mantap. “Aku mencintainya, dan baru kali ini aku jatuh cinta,” lanjut Mira sambil tersenyum manis.
Riku dan Kelly saling pandang lagi. Mereka tampak bersedih melihat Mira begitu bahagia. Sebentar lagi Mira pasti patah hati bila tahu Aoi akan sekolah di luar negeri.
“Mamamu nggak melarangmu berhubungan dengan Aoi? Maksudku, Aoi kan nggak setara denganmu,” kata Kelly.
“Nggak. Andal dilarang pun, aku akan nekat. Apa pun yang terjadi, aku tetap mempertahankan hubunganku dengan Aoi.”
Kelly. dan Riku menatap nanar Mira. Terutama Riku. Bagai ada peluru yang menembus dadanya. Riku dibakar cemburu.
* * *
Semalaman Mira sulit tidur. Benaknya dipenuhi khayalan tentang pertemuannya dengan Aoi esok hari. Ya, apa pun yang terjadi, Mira tetap akan ke rumah Aoi. Mira berharap ayah Aoi akan menerimanya. Mira sibuk merangkai kata-kata indah untuk mengambil hati ayah Aoi.
Pintu kamar Mira diketuk seseorang. Pasti Mama mau pamitan karena besok pagi-pagi harus ke luar kota.
Benar saja. Mama yang masuk.
“Kamu belum tidur?” tanya Mama sambil memegang dahi Mira.
“Belum,” sahut Mira tak bersahabat.
“Mama minta maaf, Mir.”
Mira diam saja.
Mama mendesah sedih. “Kamu boleh menjalin hubungan dengan Aoi bila mereka memaafkan Mama. Kamu boleh berteman dengan siapa pun, Mama tidak akan menuntut apa pun padamu. Mama sadar selama ini Mama terlalu keras padamu.”
“Eh?” Mira tak percaya.
Mama menghela napas. “Mama menyesal selama ini tidak menjadi mama yang baik bagimu. Mama hanya pergi sebentar, lusa Mama pulang.”
Mira tak menggubris perkataan mamanya.
Mama mengecup dahi Mira sebelum meninggalkan kamar. Mira makin tak bisa tidur. Sebenarnya Mira senang sekali mamanya telah berubah. Namun, Mira masih gelisah mernbayangkan sikap ayah Aoi padanya. Apakah ayah Aoi bisa memafkan Mama kemudian merestui hubungannya dengan Aoi?
* * *
Esoknya Mira membakar ikan dan memasak masakan aneh yang pernah ia buat bersama Aoi. Itu rnasakan kesukaan ayah Aoi, yang dimakan pertama kali di Timor Leste waktu negeri itu masih menjadi bagian NKRI. Mbak Nunuk sengaja mencarikan bahan-bahan tersebut di pasar tradisional.
Bahannya daun singkong dan jantung pisang. Keduanya direbus, lalu diperas hingga airnya tak bersisa. Bumbunya, kalau Mira nggak salah ingat, cabai, bawang merah, bawang putih, terasi, dan kemiri. Mira tak sepenuhnya hafal, tapi semoga saja rasanya nanti enak.
Mira puas bisa memasak lauk tersebut. Saat mencicipinya, dia makin senang karena pedasnya sesuai selera ayah Aoi. Untuk Aoi, Mira sengaja minta Mbak Nunuk membuatkan puding pandan. Harum sekali.
“Nanti saya antar ya, Non. Non masih lemah begitu.”
“Nggak usah, Mbak. Nanti Mira diantar Pak Bardi kok. Jangan khawatir. Mobilnya bisa parkir di ujung gang. Mira jalannya dekat saja.”
“Ya sudah. Tapi Pak Bardi disuruh menunggu ya, Non. Jadi pulangnya sama-sama lagi.”
“Iya, Mbak,” sahut Mira sambil menata masakan dan puding di rantang Aoi, yang dulu dipakai untuk makanan Mira sewaktu di rumah sakit.
Mira berdandan rapi. Dia ingin tampil cantik, meski badannya agak kurus dan matanya masih terlihat cekung. Sepanjang perjalanan Mira tersenyum. Hatinya semarak membayangkan pertemuannya dengan Aoi. Mira sungguh berharap Aoi akan senang bertemu dengannya.
“Tunggu ya, Pak,” kata Mira saat dia turun di ujung gang.
Pak Bardi mengangguk. “Hati-hati, Non.”
Mira tersenyum, kemudian berlalu pergi. Dia girang dan lega saat melihat pintu rumah Aoi terbuka.
“Permisi... ,“ kata Mira sambil melongok ke dalam.
“Hei, Mira!” Ayah Aoi yang sedang membaca koran Iangsung berdiri. Dia menyambut Mira dengan ramah. “Ayo masuk!”
Mira duduk di ruang makan sambil meletakkan rantang. “Ini saya yang masak, buat Oom dan Aoi.”
“Wah Terima kasih ya. Apa ini?” tanya ayah Aoi sambil membuka rantang. Matanya berbinar begitu melihat masakan
Mira. “Wah, terima kasih, Mira! Sepertinya nikrnat nih!” seru ayah Aoi bersemangat. Dicoleknya sedikit masakan Mira dengan jari, lalu dicicipinya. “Hm... enak sekali!”
“Aoi mana, Oom?” kepala Mira melongok ke dapur. Ayah Aoi menatap Mira sejenak, kemudian beranjak ke dapur. Ayah Aoi meminum segelas air putih, lalu kembali ke hadapan Mira. Dia duduk dengan sikap kaku. Dipandangnya Mira dengan jengah.
“Mira... mmm... begini...” Lelaki itu diam sejenak. Setelah menghela napas panjang, dia mulai membuka suara. “Aoi meneruskan sekolah di luar negeri. Dia ikut ibunya.”
“Apa, Oom?” Mira tidak yakin dengan pendengarannya.
“Aoi ke luar negeri. Sekolah.” Ayah Aoi berkata dengan nada dingin.
Seolah ada petir menyambar kepala Mira, gadis itu terdiam dan tubuhnya gemetar. Dia mencoba memproses kalimat yang baru saja didengarnya dan dadanya terasa sesak karenanya. Ayah Aoi menatap Mira prihatin.
“Tapi... tapi... bukahkah Aoi berpisah dengan ibunya sejak dia masih kecil? Oom bohong, kan?” tanya Mira di tengah isaknya.
Ayah Aoi rnenggeleng.
“Oom...” Mira kehabisan kata-kata. Dia ingin tak percaya, tapi ayah Aoi tampak bersungguh-sungguh. “Tapi kenapa, Oom? Kenapa dia pergi?” tanya Mira lagi setelah bisa menata emosinya.
“Dia akan meraih masa depan yang lebih baik bila bersama ibunya. Oorn bukan ayah yang baik buat dia. Oom terlalu sibuk dengan pekerjaan Oom.”
“Tapi, tapi... Aoi nggak pemah mengeluh. Aoi sayang Oom. Bahkan, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga saat berada di sini. Mengapa, Oom? Mengapa Aoi pergi?” “Itu yang terbaik, Mira.”
Air mata Mira semakin deras mengalir di pipinya. “Oom, semua ini karena saya, kan? Oom nggak mau Aoi dicampakkan orang kaya? Oom nggak mau putra Oom berhubungan dengan putri Lulu, perempuan yang telah menyakiti hati Oom. Begitu, kan?”
Sejenak ayah Aoi terkejut. Dia tak rnenyangka Mira telah rnengetahui masa Ialunya bersama rnarnanya.
“Mira, tolong mengertilah. Bukan itu alasan Oom mengirim Aoi pada ibunya. Oom hanya ingin Aoi bersekolah di tempat yang lebih baik. Oom ingin Aoi jadi orang sukses, tidak seperti Oom.”
Mira terisak. “Saya nggak bersalah, Oom. Saya nggak harus menebus dosa-dosa Mama pada masa lalu. Saya bahkan ingin sekali menunjukkan pada Oom bahwa saya sayang banget sama Aoi. Saya nggak akan pernah meninggalkan Aoi seperti Mama dulu ninggalin Oom. Saya sayang sekali sama Aoi!”
“Mira, itu hanyalah emosi sesaat. Cinta monyet yang menggebu, tapi kelak bila terbentur ganasnya hidup, cinta itu akan luntur. Kamu terlalu muda untuk mengerti kehidupan, Mira.”
Mira tak bisa berkata apa-apa lagi. Prasangkanya terbukti: Aoi tidak boleh menjalin hubungan dengannya karena masa lalu ayah Aoi dengan mama Mira. Mira menunduk, mencoba menguasai diri. Matanya tertumbuk pada puding pandan yang tidak keburu dilihat Aoi. Hati Mira kembali tersayat. Dia menangis tersedu.
“Mira, kamu bisa segera melupakan Aoi. Aoi bukan cowok yang tepat buatmu, Mir. Kamu gadis yang baik dan pintar. Jadi, mulai sekarang fokuslah belajar dan lupakan Aoi.”
“Terima kasih, Oom. Tapi rasanya melupakan seseorang butuh waktu seumur hidup. Saya akan menyusul Aoi kelak, setelah lulus SMA. Saya akan kuliah di Australia juga. Oom akan menariknya kembali ke Indonesia kalau saya menyusul?” tantang Mira. Mata Mira melebar, menatap Ayah Aoi.
Ayah Aoi hanya mendesah panjang. “Mira... kamu benar. Oom memang tidak menyetujui hubungan kalian.”
Mira menatap lekat wajah ayah Aoi. “Kenapa Oom belum bisa berdamai dengan masa lalu? Oom masih saja belum bisa menerima kenyataan. Padahal Oom sudah punya Aoi dan wanita lain.”
“Oom tidak mau menjadi besan ibumu. Oom tidak mau bertemu ibumu. Oom sudah bersumpah bahwa Oom tidak akan pernah menjalin pertemanan, apalagi persaudaraan, dengan ibumu,” balas ayah Aoi tegas.
“Oom egois!”
“Kamu terlalu muda untuk dapat memahami semuan ya, Mira. Ibumu bukan hanya mencampakkan Oom, tapi lebih daripada itu, dia menginjak-injak harga diri Oom. Dia memupus harapan dan cita-cita Oom. Dia menghancurkan hidup Oom.”
Hening.
Mira mencoba memahami rasa sakit yang pernah dirasakan ayah Aoi. Mungkin kejadian puluhan tahun silam itu begitu buruk dan membuat ayah Aoi terpuruk. Mira menyeka air mata. “Oom, maafkan kesalahan mama saya. Tapi saya nggak seperti Mama,” ucap Mira berat. Ayah Aoi menatap Mira prihatin, seolah hatinya sendiri juga teriris sakit. “Oom yang minta maaf, karena Oom begitu egois. Kemarin mamamu menghubungi Oom dan meminta maaf. Mamamu berharap Oom mengizinkan kamu dan Aoi bersama-sama. Tapi, luka itu rnasih menganga, Mira.”
“Saya dan Aoi akan rnenyembuhkannya, Oom. Percayalah. Saya sangat mencintai putra Oom. Semua ini sudah diatur alam semesta, supaya Oom berdamai dengan masa lalu Oom dan juga Mama. Please, izinkan kami tetap bersama, Oom.”
Ayah Mira menggeleng. Meski sebenarnya dia juga merasa bersalah karena telah memisahkan cinta Mira dan Aoi, tapi baginya, lebih baik menderita sekarang daripada sakit nanti, ketika cinta Aoi dan Mira telanjur dalam.
“Pulanglah, Mira, dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah Oom lagi,” kata ayah Aoi tegas.
Mira menghapus air mata, kemudian beranjak pergi. Dia tahu ayah Aoi rnelakukan itu untuk menyakiti hatinya. Ayah Aoi
ingmn Mira mernbencinya. Mungkin ayah Aoi menganggap, rasa benci bisa membantu Mira rnelupakan Aoi.
Tapi tidak! Mira tak rnau dikalahkan rasa benci!
* * *
Berhari-hari Mira dirundung kesedihan dan rasa kecewa yang mendalam atas keputusan ayah Aoi. Dia juga kesal pada Aoi yang sarna sekali tidak meninggalkan pesan untuknya. Tapi pada hari ketujuh, Mira bangkit. Dia bertekad untuk berprestasi setinggi mungkin hingga bisa kuliah di luar negeri dan bertemu Aoi.
Harapan untuk bertemu Aoi itulah yang membuat Mira bersemangat. Waktu pasti akan mempertemukan dan menyatukan cinta mereka. Mira percaya itu. Mira akan rnenciptakan kehidupan menyenangkan, yang dulu pernah diangankan ayah Aoi dan mama Mira, bersama Aoi.
Mira juga memiliki hubungan lebih baik dengan mamanya, yang kini mengurangi kesibukan hingga bisa mendarnpingi putrinya. Ternyata selalu hadir keindahan di balik peristiwa pahit. Andai saja Mira tidak mengalami semua penderitaan akibat cintanya, dia tak akan mengerti betapa berartinya memiliki cinta yang tulus.
Mira optimistis takdir akan memperternukannya kernbali dengan Aoi. Mira tak tahu mengapa bisa seyakin itu. Tapi keyakinan
itulah yang membuatnya mampu menjalani hari-harinya. Dalam setiap desah napas, tak henti Mira merapal rnantra yang membuatnya tetap bersemangat: Aoi, I will come to love you.

Makasi Udah mau baca, Share ya..


                                       


You Might Also Like

0 komentar: